Jangan Terlalu Alim laah…!

“Jangan terlalu alim laah..!”

Kalimat permintaan yang menyesatkan kepada sebagian orang yang sedang berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pertanyaannya, siapa mereka berani begitu? Mengapa mereka melakukannya?

Alim, secara bahasa berarti seseorang yang mengetahui. Seorang yang mengetahui suatu pengetahuan, baik itu perkara remeh ataupun hal besar, maka secara bahasa ia bisa disebut alim. Adapun kata serapan ini berasal dari bahasa Arab yang juga banyak tersebut dalamt ayat-ayat al-Quran al-Karim. Persepsi yang terbentuk di Indonesia, kata ini berkesan dipredikati kepada merekayang rajin ke masjid, sering terlihat berpakaian peci, baju koko, gamis juga sarungnya, bahkan terlalu sering mengucapkan salam, masuk kategorinya. Jangan terlalu alim laaah..! Baca lebih lanjut

Sang Raja yang Sakit

Sang Raja yang Sakit

Kenapa Allah berlaku tidak menguntungkan padaku padahal aku sudah ibadah…?! Kita juga pernah melihat ada beberapa orang yang baik (shalih/shalihah) tapi mereka dapat ujian juga, tertimpa bencana alam atau musibah lain berupa sakit keras, kehilangan harta dan ada juga orang yang kecelakaan sampai cacat kehilangan anggota tubuhnya dan masih banyak lagi musibah/ujian lainnya.

Di kesempatan yang lain kita kadang iri melihat orang yang ibadahnya biasa-biasa atau bahkan tidak ibadah sama sekali tapi kehidupannya makmur, sampai ada yang bergelimang harta, lalu kembali lagi kita menduga-duga, ke-napa Allah berlaku demikian…???

Pada hari Jum’at, seorang Ustadz bercerita tentang dialog antara Malaikat dan Allah. Dialog terjadi berawal dari keputusan Allah yang membuat Malaikat menjadi bertanya-tanya. Masalahnya perihal ada seorang raja yang shalih terlihat nasibnya kurang baik. Tetapi di daerah lain ada seorang raja yang zhalim, nasibnya lebih baik daripada raja yang shalih tadi.

Kisahnya begini. Pada suatu ketika, raja yang shalih menderita sakit keras dan untuk bisa sembuh, seorang tabib mengatakan agar raja itu memakan se-ekor ikan yang tidak biasa, masalahnya ikan itu sangat sulit dicari. Ikan itu pun tidak dapat ditemukan. Padahal seharusnya pada saat-saat itu biasanya ikan yang dimaksud banyak bermunculan. Tapi Allah berkehendak lain, ikan tersebut tidak muncul-muncul, akhirnya wafatlah sang raja yang shalih itu karena tidak mendapat obat.

Namun, sebaliknya di negara lain ada raja juga mengidap sakit yang sama seperti raja sebelumnya, tapi raja yang satu ini bukan raja yang shalih, melain-kan raja yang zhalim. Lalu sang tabib pun menyarankan untuk memakan ikan yang sama sebagai obatnya. Anehnya saat itu di mana ikan-ikan itu biasanya tidak bermunculan, tapi Allah berkehendak lain, ikan-ikan itu pun bermuncul-an dan akhirnya sembuhlah si raja zhalim itu.

Dengan kejadian itu, Malaikat pun jadi bertanya-tanya, dan begitu pena-sarannya, terlontarlah pertanyaan malaikat kepada Allah, “Ya Allah, kenapa raja yang zhalim itu Kau permudah urusannya, sedang raja yang shalih itu Kau persulit hingga akhirnya dia meninggal dunia?”
Lalu Allah menjelaskan, “Sengaja Aku tidak memberi ikan pada raja yang shalih untuk kesembuhannya dan Aku putuskan dia meninggal dunia, karena dengan wafatnya dia Ku-anggap sebagai penggugur dosanya dari kesalahan yang pernah dia lakukan di dunia. Sehingga dia meninggal dunia tidak membawa dosa, melainkan membawa amal-amal shalih. Karena keburukannya telah Ku-balas di dunia.”

Malaikat melanjutkan pertanyaan-nya, lalu bagaimana dengan raja yang zhalim itu ya Allah?” Allah pun menjelas-kannya kembali, “Sebaliknya untuk raja yang zhalim itu sengaja Kuberi dia kesem-buhan, dan bagaimanapun raja yang zhalim itu mempunyai kebaikan semasa di dunia dan kebaikannya Kubalas di Dunia. Sehingga pada saatnya dia nanti meninggal dunia, dia tidak akan memba-wa amal kebaikan, melainkan hanya membawa amal buruk, karena

kebaikan-kebaikannya sudah Kubalas di dunia.
Dari cerita di atas dipikirkan, setidak-nya kita mendapat pencerahan mengenai suatu dugaan yang salah dari peristiwa yang kita lihat atau yang kita alami sen-diri, dugaan yang membuat kita bertanya-tanya kenapa Allah berlaku tidak meng-untungkan kita padahal sudah ibadah?

Dan kita juga pernah melihat ada bebe-rapa orang yang baik (shalih/ shalihah) tapi mereka dapat ujian juga tertimpa bencana alam atau musibah lain berupa sakit keras, kehilangan harta, dan ada juga orang yang kecelakaan sampai cacat kehilangan anggota tubuhnya dan ada beberapa musibah lainnya. Di sisi lain rasa iri melihat orang yang ibadah-nya biasa-biasa atau bahkan tidak ibadah sama sekali tapi kehidupannya sukses, serba mewah, lalu kembali lagi kita menduga-duga, kenapa Allah berlaku demikian…???

Jawabannya, biar lah Allah berlaku sesuka-Nya pada kita dan pada hamba-hamba-Nya yang lain, karena Dia-lah (Rabb) Sang Pemilik alam beserta isinya dan yang Maha Mengetahui apa yang akan diperbuat-Nya. Kita sebagai manusia teruslah ikhtiar dan meningkatkan iba-dah tanpa harus mendikte Allah, meng-ikhlaskan diri dalam menerima segala ketentuan dari Allah, itu lah sesuatu yang teramat penting sekali! Karena bila kita ridha terhadap ketentuan Allah, Allah pun akan memberikan ridha-Nya pada kita, sehingga kita akan mendapat rah-mat-Nya, dan yang lebih penting dijauh-kan dari siksa bakaran api neraka yang bahannya dari manusia dan batu yang sungguh itu amat pedih.

Mengenai musibah yang terjadi/ menimpa seperti itu tadi ikhlaskan saja, insyallah itu akan menjadi penggugur dosa yang nantinya akan mengurangi timbangan dosa di akhirat dan akan mem-beratkan timbangan amal baik, seperti kisah raja yang shalih di atas, dia tidak mendapat kebaikan di dunia, tapi Allah memberikan kebaikan untuknya di akhi-rat, subhanallah.
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian, dan boleh jadi (pula) kalian menyukai sesuatu, pada-hal ia amat buruk bagi kalian; Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui”. (QS. Al-Baqarah: 216)

Wallahu’alam bish shawab

Eramuslim

Simbol Anak Durhaka = SINCAN

Sincan adalah anak yang sering mendurhakai kedua orang tuanya, dia suka berbohong, mengeluarkan kata-kata yang kurang ajar kepada kedua orang tuanya, dan suka membuat orang tuanya marah dan jengkel. Jadi, jangan heran kalau banyak anak-anak yang meniru watak Sincan, karena telah terpengaruh oleh cerita kartun tersebut.

Allah berfirman,
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kalian jangan menyembah selain dia dan hendaklah kalian berbuat baik pada ibu bapak kalian dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kalian mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS.Al-Israa’:23)

Nabi saw telah menyebutkan di antara dosa-dosa besar,
“Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua.” Kemudian Beliau duduk -sebelumnya bersandar- sambil bersabda, “Ingatlah, dan juga perkataan dusta.” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya 2511)

Abu Amr Ibnush Shalah berkata, “Mungkin bisa dikatakan, taat kepada kedua orang tua adalah wajib dalam segala sesuatu yang bukan maksiat, menyelisihi perintah keduanya dalam hal itu adalah kedurhakaan.” (Lihat Umdah Al-Qariy (13/216)

Jadi, termasuk dosa besar jika seseorang mencela, membentak, merendahkan orang tuanya. Semua ini adalah bentuk-bentuk durhaka yang terlarang di dalam agama kita yang memiliki aturan yang amat sempurna!

Masih akankah kita membiarkan anak-anak kita tenggelam dalam kesalahan-kesalahan yang menipu dengan bingkai menarik lagi menghibur. Hendaknya kita selalu berdoa dengan harap dan cemas agar kita dan keluarga terus dianugrahi petunjuk Ilahi. Waallahu’alam

Kisah Keluarga Pejuang

Di bawah ini sebuah kisah dari Ibnu Jauzi dalam kitab Shifatus Safwah dan Ibnu Nuhas dalam Masyariqul Asywaq tentang seorang pria bernama Abu Qudamah Asy-Syami, seorang pria yang jiwanya amat mencintai jihad dan perang fi sabilillah…

Suatu saat dia duduk-duduk di sekeliling masjid nabawi, ketika salah seorang sahabatnya bertanya, “Hai Abu Qudamah, engkau seorang pria yang sangat mencintai jihad dan perang fi sabilillah. Bisakah anda ceritakan kepada kami suatu peristiwa yang amat menakjubkan di tengah-tengah peristiwa jihad dan perang fi sabilillah?” Dengan semangat, Abu Qudamah mulai bercerita, aku akan bercerita kepada kalian…

Suatu kali aku ke luar bersama para sahabatku untuk memerangi kaum salibis di suatu perbatasan. Dalam perjalananku menuju ke tempat itu, aku melintasi suatu kota bernama Riqqah (suatu kota di Irak di atas sungai Eufrat). Di tempat itu aku membeli seekor unta untuk membawa senjata-senjataku dan akupun mengambil kesempatan untuk memberikan dorongan dan nasihat kepada masyarakat di masjid-masjid untuk berjihad dan berinfak fi sabilillah.

Saat malam mulai menyelimuti kota, aku menyewa suatu rumah untuk bermalam. Ketika sebagian waktu malam mulai berlalu, tiba-tiba pintu rumah yang aku sewa diketuk seseorang, akupun keluar dan membuka pintuku. Namun aku agak terperanjat, karena di depan pintuku ternyata seorang wanita yang terjaga dan tertutup oleh hijabnya.

Akupun bertanya kepada wanita itu, “Apa keperluan anda?” Tapi dia malah bertanya, “Anda Abu Qudamah?” Aku jawab, “Ya.” Wanita itu kembali bertanya, “Andakah orang yang mengumpulkan harta pada hari ini untuk menjaga perbatasan negeri?” Aku jawab, “Ya.” Tiba-tiba wanita itu menyerahkan satu kardus dan bungkusan yang terikat kepadaku, lalu dia pergi sambil menangis.

Akupun memeriksa dan membuka kardus dan bungkusan itu. Tiba-tiba aku lihat di dalamnya terdapat tulisan yang berbunyi, “Anda mengajak kami untuk berjihad, sedangkan aku tak memiliki kemampuan untuk itu, maka dengan ini aku memotong sesuatu yang terbaik yang aku miliki, yaitu dua ikatan rambutku. Keduanya kuserahkan kepadamu agar digunakan untuk cambuk kudamu, semoga Allah melihat rambutku menjadi cambuk kudamu, lalu Dia mengampuni aku dengan sebab itu.” Aku takjub sekali dengan semangat pengorbanan dan kerinduan wanita itu terhadap surga dan ampunan Allah untuknya.

Lalu, di pagi harinya aku dan sahabat-sahabatku berangkat keluar dari Riqqah. Saat kami mencapai benteng Maslamah bin Abdul Malik, tiba-tiba seorang penunggang kuda dari kejauhan berteriak memanggilku, “Hai Abu Qudamah…!!! Hai Abu Qudamah…!!! Tunggu aku (yarhamukallah..)” Maka, aku berkata kepada para sahabatku, “Berangkatlah kalian lebih dahulu, aku akan menunggu penunggang kuda itu.”

Saat penunggang kuda itu mendekatiku, dia mulai bicara kepadaku, “Alhamdulillah, yang tidak mencegah aku menemuimu dan tidak mengembalikan aku tanpa hasil.” Lalu aku bertanya kepadanya, “Apa yang anda inginkan?” Laki-laki itu menjawab, “Aku ingin ikut serta berperang bersamamu.” Akupun bertanya lagi, “Buka sorbanmu agar aku bisa melihatmu. Jika kau sudah dewasa dan layak berperang, aku akan menerimamu. Jika engkau masih kecil dan tidak layak jihad, aku akan menolakmu.” Maka laki-laki itu membuka penutup wajahnya, akan tetapi aku melihat wajahnya seperti bulan karena umurnya yang masih muda sekitar 17 tahun. Akupun berkata kepadanya, “Hai anakku, anda punya ayah?” Dia menjawab, “Ayahku dibunuh oleh para tentara salib, dan aku keluar untuk membunuh mereka yang membunuh ayahku.” Aku bertanya lagi, “Anda punya ibu?” Dia menjawab, “Ya.” Aku dengan cepat berkata kepadanya, “Pulanglah ke ibumu, layani dia dengan hormat, karena surga di bawah mata kakinya.” Akan tetapi dia berkata, “Engkau tidak mengenal ibuku?” Aku menjawab, “Tidak!” Dia berkata lagi, “Ibuku adalah wanita yang menitipkan sesuatu kepada anda.” Aku bertanya lagi, “Titipan apa?” Dia menjawab, “Dia pemilik bungkusan.” Akupun bertanya lagi, “Bungkusan apa?” Dia menjawab, “Subhanallah, cepat sekali anda lupa.. Anda tidak ingat seorang wanita yang datang tadi malam dan memberikan anda sebuah kardus dan bungkusan?” Aku menjawab, “Ya, aku ingat..” Maka, laki-laki itu berkata, “Itu ibuku. Beliau perintahkan aku untuk keluar berjihad dan bersumpah agar aku jangan kembali lagi ke rumah. Beliau berkata kepadaku, “Hai putraku, Jika engkau berjumpa orang-orang kafir, jangan mundur, persembahkan dirimu untuk Allah. Carilah bertetangga dengan-Nya, tinggallah bersama bapakmu dan paman-pamanmu di surga. Jika Allah memberikan rizki mati syahid kepadamu, maka berilah syafa`at untukku. Kemudian dia memelukku di dadanya dan mengangkat kepalanya ke langit sambil berkata, “Ya Ilahi, Sayyidi wa maulaya, ini adalah anakku, buah hatiku, belaian jiwaku, aku serahkan dia kepada-Mu, dekatkanlah dia bersama ayahnya.”

Kemudian, lanjut pemuda itu,“Tolong, aku minta karena Allah. Jangan cegah aku untuk jihad fi sabilillah bersamamu, ya Abu Qudamah, InsyaAllah aku akan menjadi seorang syahid anak seorang syahid. Aku hafal Kitabullah, paham cara perang dan menggunakan senjata. Jangan remehkan aku hanya kerena umurku.”

Mendengar kata-katanya yang mengharukan itu, aku (Abu Qudamah) segera mengajaknya ikut serta. Demi Allah tak pernah aku melihat seseorang yang amat semangat seperti dia. Jika dia menggunakan kuda, dia adalah pemacu tercepat. Jika kita singgah di suatu tempat, dia adalah orang yang tidak pernah lelah. Sedangkan lisannya tak pernah berhenti berdzikir kepada Allah di setiap kondisi apapun.

Saatnya tiba, dalam sebuah pertempuran yang dahsyat, sebuah teriakan keras menggema di arena pertempuran, “Aku lihat sebuah istana bermandikan cahaya… Batu-batunya dari emas dan perak yang mulia… Tiang-tiangnya dari permata dan batu-batu mulia… Pintu-pintunya dari emas… Hordeng-hordeng indah menutupi tiang-tiangnya… Ada para gadis muda yang mengangkat hordeng-hordengnya… Wajah-wajah mereka seperi bulan purnama… Majulah wahai orang yang semoga Allah merahmatinya… Di atas istana itu terdapat kamar dari emas merah… di dalamnya ada ranjang-ranjang yang terbuat dari permata hijau yang gemerlap… Tiang-tiang ranjangnya dari perak-perak putih bercahaya… Di atasnya ada gadis-gadis bidadari seperti matahari… Seandainya Allah tidak mengokohkan mataku, niscaya dia akan lenyap begitu juga akalku karena indahnya kamar-kamar itu dan cantik jelitanya sang bidadari mulia… Lihatlah…!!! Bidadari itu melihatku, dia berkata, “Selamat datang wahai kekasih dan wali Allah… Aku milikmu dan engkau milikku. Saat dia mendekati aku, dia ingin berkata, “……,”” Pelan-pelan teriakan itu lenyap.

Kemudian, semua terhenti. Para punggawa bertempur dahsyat. Pertempuran bergelora hebat. Senjata-senjata beradu kuat. Pedang-pedang terhunus tajam. Tombak terlontar menghujam. Tangan-tangan dan kaki-kakipun berserakan terputus dari badan. Allahu Akbar.. Allahu Akbar Laa Izzata illa bil jihad. Entah syuhada mana yang diperkenankan Allah dapat melihat bidadari yang memanggil sebelum ajal menjemputnya.

Saudaraku.., jihad adalah berlelah – lelah mengerahkan segala kemampuan dan kepemilikan secara maksimal dalam menjadikan kalimat Allah sebagai kedaulatan tertinggi dalam kehidupan manusia secara kaffah dengan berbagai marhalah yang harus ditempuhnya. Marhalah jihad bisa dalam bentuk dakwah dan tarbiyyah, baik sirri (sembunyi-sembunyi) maupun jahri (terang-terangan) bahkan bisa pula dalam bentuk kital atau pertempuran fisik, semua harus mengikuti syarat-syarat hukum taklifi dan wad`inya.

Saudaraku.., jihad adalah syari`at Allah yang merupakan bagian penting dari manifestasi akidah iman dalam wujud wala’ wal bara’.
Alangkah besar dan agungnya faedah yang akan kita raih dalam menempuh syari`at yang agung ini. InsyaAllah

Kisah Pilu Bait Hanun

Anggota tubuh berserakan dan darah mereka berceceran di antara sisa-sisa makanan yang hendak mereka makan pagi itu. Pembantaian berdarah yang dilakukan penjajah Zionis Israel terhadap keluarga Abu Mu’tiq di Bait Hanun.

“Bu… kapan suara bom itu berhenti?”. “Bu… apakah kita bisa bermain di pantai dan berenang-renang di sana?”. “ Bu… kita pasti bisa bermain sepeda lagi di sekitar rumah”. “Bu… seperti kata Ibu, kita pasti bisa naik mobil menembus pengepungan ini, benarkan, Bu?”
Pertanyaan-pertanyaan itu mengisi benak dan mimpi anak-anak di Gaza. Mereka bertanya dan bertanya pada orang tua mereka, kapan mereka bisa bersuka cita? Apalagi, meski tak terlalu mengerti, setidaknya mereka turut mendengar bila ada perwakilan Gaza yang berangkat ke Kairo Mesir untuk membahas upaya gencatan senjata. Itu tandanya, bagi mereka, ada kebahagiaan setelah itu.

Hanaa, gadis cilik usia lima tahun berteriak gembira, “Akhirnyaaa… aku bisa tidur dengan tenang”. Adiknya, Sholih yang berusia empat tahun menyambut, “Kita bisa bermain dan bersenang-senang lagi”.

Sang Ibu kemudian menjawab kebahagiaan itu, “Ayo sekarang tidur dulu, biar besok pagi kita dengarkan bagaimana berita tentang gencatan senjata. Semoga saja harapan yang kalian harapkan terwujud”. Malam itu, keluarga muslim di Gaza pun terlelap dalam mimpi indahnya tentang suasana yang lebih aman.

Hingga Abu Mu’tiq, sang Ayah, berkata, “Mereka semua merampas semua keluargaku, rumahku sekarang hancur, tak ada penghangat di musim dingin, semuanya hilang. Mereka semua bermimpi tentang gencatan senjata dan pencabutan isolasi Gaza. Mereka juga sudah merencanakan hari libur yang indah. Mereka ingin hidup dengan aman.

Tapi kedengkian dan kebencian Israel telah merampas mereka dan mimpi-mimpi mereka. Mereka semuanya meninggal..”

Semua harapan dan mimpi itu dijawab oleh Zionis Israel dengan berita mengiris hati dengan sembilu. Pagi keesokan harinya, bom Israel sengaja ditembakkan ke rumah Abu Mu’tiq yang terletak di utara Gaza. Anak-anaknya yang ada dalam rumah itu, Mas’ad, Hanaa, Sholih, Radena, semuanya bergelimpangan tanpa nyawa di antara reruntuhan rumah. Seorang tetangga di lokasi mengatakan, “Mereka (korban) saat itu sedang makan ketika serangan menerjang mereka dan serpihan rudal penjajah menyerbu tanpa peringatan merubah jasad mereka menjadi potongan-potongan yang tercabik-cabik”.

Dalam kondisi yang sangat berbahaya, para tetangga yang lain mengevakuasi potongan tubuh dan jasad dengan gerobak, sang Ibu yang penuh luka dan tangis telah juga sampai ke rumah sakit, namun tak beberapa lama ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir, menyusul keempat anaknya. Ia seperti tidak mau berlama-lama tinggal di dunia yang hampa dari senyuman anak-anak yang menjadi buah hatinya.

Hari itu, Bait Hanun, menyelimuti jasad para syuhadanya. Duka kembali menghangat di perkampungan pejuang Palestina yang tak mau tunduk dengan keinginan Israel dan AS yang terbukti haus darah. Ribuan pelayat memenuhi jalan-jalan di wilayah utara Gaza, mereka sengaja datang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada keluarga Abu Mu’tiq yang tewas sekeluarga dibantai serdadu bengis Yahudi.

Ketika menyaksikan jasad istri dan keempat anaknya hendak dimasukkan ke liang lahat, Abu Mu’tiq hanya bisa meletakkan kedua tangannya di kepalanya sambil mengucapkan, “Hasbunallohu wani’mal wakil, laa haula walaa quwwata illa billah..” bibirnya kelu dan hatinya sedih. Yang dia ingat hanya mimpi-mimpi dari rangkaian kisah pilu para keluarga syuhada Palestina.

Keluarga Ali Atha Allah (6 syuhada), keluarga Galia (7 syuhada), keluarga Abu Salamia (9 syuhada), keluarga Abu Mathar (7 syuhada), mereka adalah korban kejahatan pembantaian oleh tangan-tangan pasukan penjajah Israel yang tak mengenal bahasa kecuali kekerasaan dan teror.

Kisah seperti ini sudah sering terjadi, kisah pilu lantaran kita tak bisa mempercayai janji Israel. Memang kita tidak akan pernah mendapati kebenaran dari musuh-musuh Allah . Dan kita pun tidak pernah berharap belas kasih para pembunuh anak-anak dan wanita-wanita di Palestina pertaruhan hidup yang keras yang tidak kita rasakan di sini. Semoga Allah mengokohkan iman mereka dengan balasan surga-Nya dan semoga kita termasuk orang-orang yang tidak keras hati untuk merasakan penderitaan saudara-saudara kita di sana.
Semakin jelas kita rasakan, kita lihat pembantaian demi pembantaian yang terus terjadi ditengah pembicaraan damai dan kejahatan biadab ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa Israel adalah negara teroris yang dipimpin oleh para jendral teroris yang mengincar anak-anak dan wanita. Hampir mencapai angka ratusan lebih korban blokade dan agresi yang dilakukan Israel.

Akankah terus ada kisah pilu di hari-hari berikut?

Sejenak Bergaul dengan Anak

Sejenak bergaul dengan anak-anak seketika itu juga hilang beban di pundak. Anak-anak, mereka adalah pemeran sandiwara tanpa skenario sebelumnya. Dalam diri anak-anak ada keluguan, kepolosan, kejernihan, sepertinya belum ada kotoran yang hingga di benak. Ternyata mereka mampu memberikan pelakaran yang banyak. Tentunya bagi yang bersedia mengubah sudut pandangnya.

Sore itu aku pun bertamu ke rumah ”Umi” angkatku. Umi yang ditemani dua orang anak, lucu-lucu. Selalu ceria, tapi terkadang cemberut ketika ”petir” Umi menyambar mereka. Lari-lari. Tawa riang menghiasi perbincanganku dengan Umi. Di tengah-tengah bincang-bincang itu, tiba-tiba ”si kecil” berdiri dengan penuh kepolosan di hadapan Umi. Seolah ia telah melakukan perbuatan dosa. Wajahnya sedih, air matanya mengalir, pasrah atas apa yang akan dilakukan Umi. Dengan takut-takut ia lantas berucap, ”Umi… Buku diktat agamaku ilaaang…”, dengan khas logat anak-anak. Air matanya tambah deras, kepasrahannya tambah berlipat.

Umi yang susah payah membelikannya. Umi yang selalu menjaganya, merawatnya, mendidiknya. Umi…, terlalu besar jasanya. Bukan saatnya membahasnya. Umi dengan lembut membelai ”si kecil”, meminta mengingat-ngingat kembali, di mana buku itu diletakannya. Belaian lembut itu ternyata berhasil mengurangi tangis ”si kecil”. Subhanallah! Ucapku dalam hati.

Aku pun teringat, betapa sekarang ini, susah sekali untuk bisa meneteskan air mata di hadapan Dzat yang telah berjasa pada diri kita. Sementara terlalu banyak nikmat yang hilang sia-sia. Tak jarang nikmat-nikmat itu kita ”hilang”kan dengan sengaja. Bahkan tanpa merasa berdosa.

Sungguh manusia dewasa telah kebablasan dalam kedewasaannya. Barangkali karena terlalu banyak noda yang telah dikoleksi. Noda itu berhasil menutupi sisi fitrah untuk mengaku berdosa, meneteskan air mata, pasrah atas apa yang akan dilakukan-Nya. Fitrah itu terpendam dalam oleh tumpukan dosa-dosa.

Saudaraku…,
Saatnya kita kembali menggali fitrah itu. Dulu kita adalah anak-anak, tak ada salahnya kalau kita kembali menjadi anak-anak di hadapan-Nya, di sepertiga malam yang hening, seolah hanya berdua. Rasulullah saw memberi kita berita mengagumkan dalam sabdanya:

”Rabb kita setiap malam turun ke langit dunia ketika menjelang sepertiga malam yang akhir, lantas berfirman, ”Siapa yang berdo’a kepada-Ku, pasti Aku ijabah do’anya. Siapa yang meminta kepada-Ku, pasti Aku beri. Siapa yang meminta ampun kepada-Ku, pasti Aku ampuni.” (HR. Al-Bukhari)

Subhanallah! Setiap malam Rabb kita memberi kesempatan. Sayang kalau waktu istimewa itu begitu saja terlewatkan. Itulah saat tepat bagi kita untuk mengakui dosa-dosa agar Dia berkenan memberikan ampunan. Pasrahkan diri atas semua apa yang terjadi, pasti akan diberi aneka kebaikan. Merengek-rengek meminta semua apa yang sangat kita butuhkan. Mengadukan semua permasalahan yang kita hadapi dalam kehidupan. Kalau perlu, paksa agar air mata jatuh berserakan. Sesudah itu semua pasti belaian lembut-Nya akan kita terima. Lebih lembut dari belaian Umi kepada anaknya. Karena Allah swt Maha Lembut, kelembutan-Nya sesuai dengan keagungan-Nya.

Selamat mencoba… Apabila belum beruntung, coba lagi…!

File Gerimis Edisi 6 Tahun Ke-2 2007

Siap Adu Tantang?

Berkendaraan sepeda motor, terkadang suka ”nyenggol” adalah hal yang bukan istimewa. Terlebih ketika ada hajat yang membutuhkan waktu cepat. Ngebut, sleat-sleot, ciit… bruk! (pelan). Tak urung yang demikian itu menaikkan tekanan darah dengan sangat cepat lagi mengubah paras muka menjadi agak beringas. Di jalanan, syetan-syetan memang berkeliaraan. Memasang jaringnya, mencari mangsa, masuk ke sistem peredaran darah manusia. Sampai-sampai ada ungkapan, berkendaraan ngebut di jalanan, separuhanya keahlian sedang separuh lagi nafsu syetan. Terkadang benar demikian.

Peristiwa ciiit… bruk! (pelan) itu pun sampai juga pada kendaraan yang saya tunggangi. Spontan, mobil pribadi yang kena senggol marah besar, besar sekali. Berteriak kasar dan lantang, hoi…! Awas kau! Sambil menantang untuk berkelahi. Tantangan bengis seorang manusia yang keras hati. Aku pun berkata dalam diri, ”Ah… gak ada gunannya meladeni.” segera saja tancap gas, pergi, toh tak bekas apapun di mobil tadi.

Tapi, tetap saja jiwa ini tidak tenang dengan tantangan yang penuh kesombongan. Tantangan yang disertai ancaman. Ingin rasanya kembali, untuk membuktikan kejantanan. Tak rela dianggap tak berdaya di hadapannya.

Tapi, sejurus kemudian jadi teringat sebuat ayat. Ayat yang berisi tantangan dari musuh sejat. Musuh sebenarnya yang Allah swt perintahkan untuk kita jadikan musuh.

”Iblis berkata: ”Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian syaa akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapai kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (QS. Al-A’raaf: 14-17)

Ya…. Inilah tantangan paling keras sepanjang zaman. Tantangan sangat serius dan bukan sekedar permainan. Tantangan yang disertai ancaman gila-gilaan, berusaha memalingkan dan menyesatkan semua manusia termasuk kita dari jalan keselamatan. Tidak ada tantangan yang lebih dahsyat, melebihi ayat di atas.

Anehnya, kalau tantangan manusia saja sudah membuat darah kita begitu mudah dan cepat bergejolak. Tapi mengapa kita menghadapi tantangan syetan, darah kita tak segera bergerak? Bahkan tak jarang kita mengikuti langkah-langkah syetan. Seolah tak peduli dengan tantangan dahsyat syetan kepada Bani Adam.

Saudaraku…,
Sampai kapan kita ”dingin” menghadapi tantangan syetan? Darah tak bergejolak. Hati tak membara. Wajah tak segera memerah. Kaki tak segera beranjak melangkah melawan arah seruannya?

Saudaraku…,
Apakah kita menerima, syetan telah menantang kita dengan tantangan terbuka lagi memaksa?

Apakah kita rela digiring di belakangnya dalam keadaan tersesat dan memandang baik perbuatan buruk?

Apakah kita rela diri-diri ini menjadi tentara-tentara iblis, bergabung di bawah bendera dan kekuasaannya?

Jika jawabannya tidak, lalu mengapa kita mau melaksanakan rayuan gombalnya dan takluk pada penyesatannya?

Benar-benar aneh kita…?

File Gerimis Edisi 5 Tahun ke-2 2007

Siapa yang Salah?

”Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab: 59)


Di belahan bumi sana, seorang ikhwan bercerita. Setelah beberapa lama menikah-alhamadulillah- istri bersedia, rela melaksanakan Islam secara kaffah (sempurna). Hingga cadar pun dengan penuh keikhlasan dipancangkan kuat-kuat untuk menangkis serangan-serangan mata jelalatan pria yang hatinya berpenyakitan. Pengaman sekaligus kemuliaan bahwa dirinya seorang muslimah tangguh memegang prinsip diennya.

Tiba saatnya mertua minta dijenguk, rindu katanya. ”Ongkos gampang, nanti ada gantinya” Rayu sang mertua. Semgangat pun membara menjenguk mertua.

Tak disangka sesampainya di sana. Para tetangga menyambut dengan cibiran mulut dan kedipan mata. ”Kok isterinya sudah kayak ninja, aliran apa ya?” mulanya datar. Waktu berlalu, ternyata banyak orang yang tak mampu menyembunyikan kebencian. Syetan pun mulai menyuntikkan racunnya kepada ular-ular peliharaannya yang berbentuk manusia.

Mertua mendapat desakan agar putrinya melepas cadarnya, syi’ar Islam yang harus dijaga. Sang putri yang hatinya telah tersinari cahaya Ilahi jelas tak bersedia. Namun terus dipaksa, selanjutnya air mata yang bicara, dan begitulah wanita.

Sang ikhwan tiba di rumah, terkejut melihat cuaca yang telah berbuah. Awan mendung menyelimuti mata isterinya. Ada apa? Dalam tangis panjang, sang isteri menceritakan kepiluannya. Terkejut bukan main sang ikhwan. Perdebatan sengit tak lagi tertahankan, antara menantu dan mertua. Ia dituduh memiliki agama yang berbeda, ajaran yang tidak sama, Al-Qur’annya pun dianggap juga. Ia divonis sesat oleh sang mertua, dengan alasan tidak ada orang ”pribumi” yang melakukannya. Lebih baik mengikuti kebanyakan orang, pintanya.

Sang ikhwan jelas tak bisa meneken kontrak keinginan mertua. Karena sudah perintah dari Robb yang Maha Kuasa. Akhirnya, debat panjang yang tak berselesaian berujung pada ancaman. Tak berhak mendapat ganti uang perjalanan, tak berhak dapat warisan, dan sederet ancaman mengerikan lainnya. ”Karena kamu sesat” Kata mertua.

Sang ikhwan menggelengkan kepala, hanya bisa pasrah kepada yang Maha Kuasa. Hanya, ia selalu merasa heran dengan unek-unek yang tak tertahankan, ”Kenapa mereka tidak mau membaca catatan kaki (QS. Al-Ahzab (33): 59) terbitan DEPAG. Padahal, mereka semua mengakui, bila para penerjemah dari Departeman Agama itu sebagai para ulama yang selalu menjadi dalil bagi mereka.”

Di sana tertulis dengan sangat jelas: ”Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.”

Adakah orang-orang yang menghendaki kebenaran akan menutupi kejujuran hatinya?

File Gerimis edisi 4 Tahun ke-2 2007

Siapa yang Gila?

Kongkow-kongkow di sebuah halaqoh pecinta alam terkadang ada faedahnya. Dianjarkan betapa kita harus cinta terhadap lingkungan, bertanggungjawab sekaligus harus rajin memberi perhatian. Sebab alam adalah teman hidup, anugerah yang harus disyukurkan. Kita butuh alam, sudah sunnah kauniyyah, maka alam telah menyediakan semua apa yang kita butuhkan. Serasi dengan alam adalah wajibul kudu, atau keharusan yang tak terbantahkan. Pasti.

Tibalah suatu ketika acara rihlah, menjenguk puncak. Bermesraan dengan alam yang begitu indah dan mempesona, begitu teman-teman menyebutnya. Gunung-gunungnya yang menjulang, hijau ranau sedap dipandang. Udaranya membelai romantis, terasa sejuk di dada. Airnya jernih, gemercik, lucu, indah seperti tawa adik bayiku yang di rumah. Iiiih… asyik deh pokoknya.

Di sebuah pojok, tepatnya di selokan, terlihat ada seorang berpakaian lusuh mengumpulkan sampah. Keringat plus sedikit bau yang menyengat. Beberapa meter darinya, orang-orang borju dan sok kaya memandangnya sinis sedang tangannya melempar sebungkus sampah sambil mengucapkan sebuah kalimat yang bikin telingaku memanas, ”Dasar orang gila!”

Aku jadi bingung. Siapa sebenarnya yang gila?! Orang yang berusaha mengumpulkan sampah di selokan agar air mudah mengalir ataukah orang yang membuang sampah sambil merasa tak bersalah? Orang yang rela keringatnya bercucuran meski campur bau kotoran untuk mempertahankan keserasian alam atau orang yang berpenampilan wah namun sejatinya perusak lingkungan? Sejak kapan otak mereka berbolak-balik. Yakin. Kita semua tahu siapa yang sebenarnya gila.

Saudaraku…,
Inilah sebuah fenomena kecil di masyarakat kita. Tak kecil sebenarnya, kalau kita mau meneliti lebih dalam lagi tentang fenomena ”Siapa yang gila?” di masyarakat kita. Hutan-hutan gundul gara-gara ulah seoran gyang dianggap ”pahlawan” oleh sebagian orang. Menyisakan banjir hingga Aceh tenggelam. Gunung emas dikeruk terus-terusan oleh seorang yang dianggap ”pembawa devisa negara” oleh sebagian manusia. Menyisakan limbah yang mengancam kehidupan penduduk Papua. Pelacuran yang ”diizinkan” oleh sebagian oknum, terkadang hobi sebagian tokoh masyarakat. Menyisakan sejarah kelam sosok yang seharusnya menjadi panutan ummat. Kesyirikan yang sengaja ”dibiarkan” atau bahkan diperjuangkan. Menyisakan adzab yang sudah siap menghantam manusia, kalau kita diam saja.

Do’aku Untuk Dukun Bayiku

Berpetualang di berbagai kota itu mengasyikkan. Tetapi kembali ke kampung halaman kadang jauh lebih mengasyikkan. Bisa mengingat sederet kenangan yang tak mungkin terulang lagi. Tak kusangka sama sekali, dalam kepulanganku kali ini aku masih dapat menjumpai seorang dukun bayi. Dukun bayi yang dulu, kata ibuku, telah menolongku keluar dari perut ibu. Benar-benar manusia berjasa, di awal aku pertama kali menginjak dunia.

Dahulu, dukun bayi itu teramat baik kepadaku. Setiap kali ia lewat di depan rumahku, aku dan adik-adikku, selalu berseru, “Mbah…!” Sejurus kemudian, rupiah ada digenggaman. “Ini untuk beli es yaa…,” ia berpesan. Yang seperti itu hampir selalu menghiasi pertemuanku dengannya, bisa dikatakan sepanjang zaman, demikian itu.

Akan tetapi kini, kusaksikan ia tergeletak tak berdaya. Usianya telah lanjut, sudah hampir seratus. Tulangnya tak lagi berbalut daging, tetapi hanya berselimut kulit keriput. Tak sanggup lagi makan sesuap nasi, yang bisa hanya seteguk susu, kemudian sudah. Benar-benar hawa seolah terasa, bahwa hidup tak akan lama.

Ternyata walaupun sudah teramat tua, dengan izin Alloh swt, ia masih menyimpan banyak tenaga. Saat kusentuhkan jari-jariku, ia bertanya, “Siapa ini?.” Kujelaskan siapa diriku, dan ia masih mengingatnya, “Ohh…anaknya si fulan.” Karena dahulu kami begitu akrab, ia langsung memintaku untuk mendekat. Kupenuhi permintaan itu.

Tiba-tiba ia mulai bercerita kisah hidupnya bagaimana awal mula menjadi dukun bayi. Ia terbuka padaku, bahwa setiap kali menolong bayi, ia tidak sendiri. Ia mengaku punya semacam pasukan pendamping yang merupakan warisan nenek moyang. Usianya sudah tiga ratus tahun lebih.

Dahulu, ia sering mandi malam hari di sungai sebelah rumah. Ia berpuasa tiga hari tiga malam, tak berbuka walau rasa lapar mencakar-cakar perutnya. Ia sering keluyuran kemana-mana apabila malam tiba. Kemudian ia menunjukkan sebuah bungkusan yang ia simpan dibalik selendang. Ia bercerita bahwa di jembatan desa ada tiga penunggu, laki-laki semua, besar dan tinggi. Di pertigaan jalan sana ada sundel bolongnya. Di sungai itu, di bawah pohon bambu, ada sebuah keluarga hantu, yang sering menyapaku. Sedang di ujung jalan desa sana ada tuyul yang sering keluyuran…!!!?

Tersentak aku kaget luar biasa. “Ini kesyirikan…, ini kesyirikan…,” ucapku dalam hati berulang-ulang. Selanjutnya, ia mengajariku sebuah mantra berbahasa jawa. Aku tak bersedia namun ia memaksa. “Kamu harus mengikuti kata-kataku!” katanya.

Kemudian ia berucap, “Apabila kamu hendak keluar rumah, ucapkan: Bismillahirrohmannirrohim, (Aku setuju), lalu: Ibu slamet, bapak slamet, (aku mulai ragu), ikutlah sebelah kanan dan kiriku, (aku mulai tidak setuju).”

Terjadilah dialog dengan sedikit perdebatan antara aku dan dia. “Ini supaya kamu tidak diganggu oleh seorang pun, untuk jaga-jaga, katanya.”

Aku jelaskan bahwa kita tidak boleh minta kecuali hanya kepada Alloh swt, ia pun setuju, ia mengaku bahwa ia pun hanya minta kepada Alloh semata. Aku bimbing ia untuk bersyahadat, ia pun bisa, lancar bahkan. Aku ajarkan ia apa itu tauhid dan apa itu syirik, ia pun tahu. Tetapi acapkali ia berusaha agar aku mengikuti mengucapkan mantra itu. Aku tetap bersikeras tak mau. Selang beberapa waktu, ia minta segelas susu, ia pun minum hanya beberapa teguk, lalu berucap, “Selanjutnya jangan ganggu aku.” Sekejap kemudian ia lelap dalam tidurnya.

Spontan, mengalir air mataku, deras. Padahal aku tak lagi punya waktu. Aku harus pergi, kembali berpetualang ke kota. Jadwal kereta memaksaku pergi meninggalkannya dengan segera. Hanya lantunan do’a semata yang masih tersisa, di setiap kesempatan yang aku bisa. “Ya Alloh…, berilah petunjuk-Mu dan selamatkanlah ia.”

File Gerimis Edisi 1 Tahun Ke-2 2007

Jasa Musafir Sumbawa

Dunia memang tidaklah begitu luas bila dibandingkan dengan keluasan hati orang yang selalu memberikan pertolongan kepada siapa saja yang seharusnya diberikan bantuan. Jarang sekali di era modernis ini kita temukan orang yang ikhlas dan santun memberikan dan mencurahkan segenap kemampuannya membantu orang yang sama sekali bukan keluarga, kerabat bahkan karibnya. Keyakinannya terhadap sabda Rasululloh saw telah tertanam menjadi prinsip hidupnya, menyatu dan terealisasi dalam muamalah. Pertolongan yang diberikan ternyata menjadi awal masuknya hidayah dari Alloh swt. Subhanalloh.

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Alloh, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (QS. Al-Maidah: 2)

Ia bercerita, tahun 2000 pertama, dia menginjakkan kakinya di tanah Jawa. Sampai di pelabuhan, ia tidak tahu harus kemana. Akan tetapi langkahan kakinya menuntun, berjalan menuju angkutan bis jurusan Sukabumi. Sukabumi seolah menjadi tujuan, padahal tiada satu pun sanak keluarga di kota jaipong tersebut dan untungnya malam itu ia menemukan sebuah surau untuk menginap.

Menginap di surau itu ternyata bukanlah suatu kenyamanan baginya. Selain nyamuk, ternyata malam itu terjadi tragedi yang sangat memojokkannya.

Memang sudah qadarulloh, saat itu terjadi pencurian dan tanpa disangka sang maling pun berlari menuju arah surau, karena kagetnya ia terbangun dari tidurnya menuju keluar surau. Bersamaan dengan itu, ternyata teriakan maling terarah padanya. Senjata yang dibawa warga tertuju padanya. Tidak ada satupun cara membela diri kecuali teriakan sabar kepada warga.

Alhamdulillah, keadaan menjadi tenang, sehingga dengan serta merta ia berusaha membela diri. Dia berembuk dengan orang yang terpandang di kampung tersebut. Alhamdulillah, Alloh menyelamatkannya dan warga pun mengetahui bahwa dia adalah orang baru yang ingin merantau di tanah jawa, bukan pencuri yang kabur tadi. Akhirnya selamatnya dia, ternyata menyelamatkan juga maling yang menjadi kejaran massa.

Berselang waktu, karena sikapnya yang sopan, warga memberikannya sebuah rumah untuk dihuni olehnya. Rumah sederhana, namun tidak sesederhana masalah baru yang datang.

Pada suatu hari, tiba-tiba ada dua orang wanita lari ketakutan masuk ke dalam rumahnya. Kedua wanita tersebut meminta kepadanya, “Kalau ada yang yang mencarinya, tolong katakan tidak ada”.

Dalam keheranan, dia pun menuruti permohonan kedua wanita tersebut. Ternyata benar, ada satpam yang mencari kedua wanita tersebut dan dia pun mengatakan seperti permintaan wanita tadi. Lalu, satpam itu pun pergi.

Setelah satpam itu jauh meninggalkannya, dia masuk menemui wanita tersebut dan menanyakan permasalahan yang sebenarnya. Sambil menahan air mata yang jatuh, mereka berdua menceritakan kejadian yang sebenarnya. Ternyata kedua wanita itu, adalah penduduk asal Purwekerto dan mereka adalah calon TKW yang dijanjikan akan diberangkatkan ke Malaysia, akan tetapi setelah menunggu selama tujuh bulan, pemberangkatan pun tak kunjung datang. Karena bosan dan tak tahan, bahkan untuk sekedar menelepon keluar pun tidak diperbolehkan, terlebih setelah terjadinya kasus bunuh diri rekannya akibat merasa diperlakukan seperti di dalam penjara. Karena tidak ingin apa yang dialami temannya juga menimpa padanya, maka, mereka nekat kabur dangan memanjat tembok tempat mereka disekap, dari tempat penampungan calon TKW tersebut.

Mendengar cerita tersebut, dia pun merasa iba, kemudian memberikan uang saku sisa ongkos perjalanannya untuk kedua wanita tersebut agar dapat kembali berkumpul bersama keluarganya di Purwekerto. Dan saat itu, hanya itu yang bisa dia lakukan, tanpa bisa mengantar mereka ke terminal. Akhirnya, mereka pun pergi dan dia hanya bisa memberikan senyum iba kepada keduanya.

Pernah suatu ketika di bulan Ramadhon ketika dia naik kereta api, ada seorang kakek-kakek yang sungguh sangat tua duduk disampingnya. Tidak berapa lama, kakek tersebut berbisik ke telinganya menawarkan seluruh pakaian yang ia bawa di dalam tas. Maka dia pun kaget dan menanyakan kenapa tiba-tiba kakek tersebut berkata demikian.

Kakek itu bercerita kepadanya bahwa ia mencari anak lanangnya yang tinggal di Pasar Minggu. “Sudah lama tidak pulang, tidak memberi kabar.” Kata kakek itu dengan mata yang berkaca menyorotkan rasa rindu.

Maka dengan berbekal uang hasil menjual tanah ia berangkat dengan naik kereta. Namun malang, di kereta, uangnya ludes dicopet, hingga yang tersisa hanya pakaian yang ditawarkan tadi. Kakek itu juga telah melapor ke polisi, namun polisi hanya memberikannya sehelai kertas keterangan tentang “Kehilangan Barang”. Memang, namanya juga polisi sekarang, banyak yang sudah seperti para penjahat yang tidak punya nurani. Bedanya, yang satu maksa, sedang yang satu pakai PERGA (Peraturan Negara).

Melihat kondisi kakek tersebut yang sangat renta, dia merasa iba. Maka, ketika kereta berhenti, dia turun mengajak kakek tersebut sambil menawarkan untuk membawakan barangnya. Akan tetapi kakek tersebut menolak, mungkin khawatir kalau dia akan menjadi pencopet kedua. Dengan tubuh bergetar kakek itu terlihat sempoyongan membawa barangnya.

Karena melihat kondisi kakek itu sudah sangat lemah sekali, dia menawarkan makan untuk kakek tersebut di salah satu kafe stasiun tersebut. Akan tetapi kakek itu malah mengatakan: “Meninggal dalam keadaan shaum lebih baik bagi saya”.

Perkataan kakek tersebut sungguh menghentak relung hatinya. Bagaimana tidak tubuhnya yang renta, ternyata tidak sedikitpun menggoyahkan imannya untuk tetap taat pada perintah Alloh swt. Berbeda jauh dengan mereka yang sehat, yang mematuhi perintah Alloh swt setengah-setengah atau bahkan tidak patuh sama sekali. Na’uzubillah.

Akhirnya, ketika maghrib tiba, ia mengajak kakek itu buka bersama. Yang mengejutkan, selepas buka shaum, kakek tersebut memeluknya, mungkin wujud rasa terima kasih untuknya. Tanpa terasa dia meneteskan air mata, begitu juga kakek tersebut. Singkatnya, setelah itu, karena alamat anaknya pun hilang, dia hanya memberikan kakek tersebut ongkos untuk kembali ke kampungnya.

“Itulah kenangan yang takkan terlupakan oleh saya.” Kata pemuda sumbawa ini. Perkataan kakek itu terus terngiang-ngiang dalam benaknya dan menjadi motivasi baru baginya untuk meningkatkan ibadahnya di waktu muda, sehat, dan kuatnya. Semoga sabda Rasululloh ini terlimpah padanya.

“Barang siapa menghilangkan kesukaran dari orang muslim maka Alloh akan menghilangkan darinya satu kesukaran dari kesukaran-kesukaran yang ada pada hari kiamat”. (HR. Bukhari-Muslim)

File Gerimis Edisi 12 Tahun ke-1/2005