Salahkah Bila Aku Cemburu???

Pernah ketika Nabi berada di rumah seorang istrinya, salah seorang ummahatul mukminin (istri beliau yang lain) mengirimkan sepiring makanan untuk beliau. Melihat hal itu, istri Nabi yang sedang berdiam di rumahnya segera memukul tangan pelayan yang membawa makanan tersebut hingga jatuhlah piring itu dan pecah. Nabipun mengumpulkan pecahan piring tersebut kemudian mengumpulkan makanan yang berserakan lalu beliau letakkan di atas piring yang pecah seraya berkata: “Ibu kalian sedang cemburu.” Beliau lalu menahan pelayan tersebut hingga diberikan kepadanya ganti berupa piring yang masih utuh milik istri yang memecahkannya, sementara piring yang pecah disimpan di tempatnya. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5225)

 

 

Fenomena

Rasa cemburu adalah naluri insaniah yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Aplikasinya bisa terjadi pada dua kondisi, terpuji atau tercela. Cemburu yang terpuji adalah cemburu yang tidak menguasai seseorang dan tidak membangkitkan keraguan dan prasangka buruk. Sedangkan cemburu tercela adalah sebaliknya, yaitu yang melahirkan prasangka negatif.

Terkadang cemburu bisa melampaui batas hingga menyebabkan seseorang melakukan tindakan aneh dan memalukan. Seorang istri akan meragukan integritas suami dan menuduh tingkah lakunya macam-macam. Ia berprasangka buruk terhadap suaminya ketika ia berpaling dan melihat seorang wanita yang sedang berjalan. Ia juga mencurigai suaminya ketika sibuk sehingga melupakan istrinya. Padahal tidak tampak sedikitpun dari suaminya tanda-tanda keburukan atau kecenderungan untuk itu. Apakah ini rasa cemburu seperti ini hanya dimiliki oleh wanita? Tentu TIDAK, tidak jarang kaum lelaki memiliki prilaku cemburu yang sama atau bahkan jauh berlebih hingga mengarah ke arah posesif.

Terkadang juga istri berlebih-lebihan dalam menuntut, sehingga ia menguras harta suaminya habis-habisan. Tujuannya agar hartanya tidak berpindah tangan ke mertuanya, saudaranya atau agar suaminya tak mempunyai kelebihan harta untuk menikah lagi. Hal ini juga bisa ditenggarai oleh kelakuan suami yang terkesan pelit atau menyembunyikan nafkah yang dimilikinya tanpa alasan yang jelas atau bahkan mungkin mengada-ada.

Sebaliknya bagi suami, rasa cemburu yang melebihi batas kewajaran, yaitu yang melahirkan syak wasangka, merupakan tindakan tercela. Karena itu adalah sikap yang melebihi kewajaran dan sangat berlebihan. Rumah tangga yang dibangun dengan pola perlakuan buruk seperti ini dari pihak suami, tentunya tidak akan tegak dengan kokoh. Karena hal itu berten-tangan dengan sikap kasih dan sayang yang harusnya menjadi pilar kehidupan rumah tangga.

Sikap cemburu seperti ini dibenci oleh Alloh . Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi .

“Ada rasa cemburu yang dicintai Alloh , dan ada rasa cemburu yang dibenci Alloh. Adapun cemburu yang dicintai Alloh adalah rasa cemburu ketika ada tanda-tanda perilaku yang menyimpang, sedangkan cemburu yang dibenci Alloh adalah cemburu yang tidak dilandasi kecurigaan penyimpangannya… (HR. Abu Dawud)

Dalam hadits di atas terdapat ancaman tegas terhadap para suami seperti mereka ini; jika mereka tidak mau berlepas diri dari kelakuan mereka tersebut. Karena tindakan tersebut mengakibatkan timbulnya kerusakan sosial dan probelmatika keluarga yang dapat menghancurkan eksistensinya.

Solusi Praktis

Untuk mengobati rasa cemburu yang tercela ini, disarankan hal-hal berikut:

  1. Ketika ada perilaku pasangan kita yang menorehkan luka, hendaknya diadakan forum introspeksi dari masing-masing pasangan. Dalam forum tersebut, jujur dan terbuka sangat dituntut untuk mencairkan masalah.
  2. Memperingatkan mereka akan bahaya yang dilakukan, pelanggaran mereka terhadap agama, dan keluar dari kehidupan rumah tangga yang sehat dan wajar. Juga bahwa hal itu menodai kehormatan diri, karena telah melem-parkan tuduhan bathil terhadap pasangannya yang tak bersalah. Dan hal itu juga telah melanggar hak hamba pada hukum hudud Alloh .
  3. Akan sangat bermanfaat sekali bagi orang-orang seperti ini untuk memaparkan kehidupan Nabi  bersama keluarganya. Meskipun Beliau ini lebih pencemburu dibanding mereka, namun Beliau tidak melakukan tindakan yang cenderung tidak baik seperti yang mereka lakukan.
  4. Realita yang ada menegaskan bahwa sebagian perempuan justru memanfaatkan sifat yang ada pada suaminya ini. Ia melakukan tindakan yang memprovokasi (memanas-manasi) suami melalui sifat tersebut. Misalkan saja istri menampakkan sebagian perhiasannya (yang seharusnya tidak boleh ia tampakkan), atau berbicara dengan seorang lelaki dengan suara yang menggoda. Atau sebaliknya, adapula laki-laki yang melakukan hal-hal tersebut. Dan ini merupakan hal yang sangat berbahaya, karena dapat mengancam kebahagiaan kehidupan suami-istri dan ketenangan rumah tangga.
  5. Dalam berbagai kondisi seperti ini, pihak yang mengupayakan adanya ishlah (upaya damai) sebaiknya me-muji perangai dan kualitas agama masing-masing didepan pasangannya. Langkah ini akan meredakan gejolak suami dan menenangkan dirinya, serta memalingkan bisikan nafsunya.

Demikianlah solusi praktis yang bisa diupayakan untuk mengurangi rasa cemburu yang berlebihan. Karena cemburu yang berlebihan bukan hanya tidak baik dari segi agama saja, akan tetapi perbu-atan tersebut akan mengurangi harmo-nisasi rumah tangga.

Sebuah Renungan

Emosi dan perasaan akan bergolak dikarenakan dua hal; kegembiraan yang memuncak dan musibah yang berat.

Alloh  berfiman:

(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. (QS. Al-Hadid: 23)

Seseorang dituntut untuk senantiasa menjaga perasaannya atas setiap persitiwa, baik yang memilukan ataupun yang meng-gembirakan, maka dialah orang yang sejatinya memiliki kekukuhan iman dan keteguhan keyakinan.

Seseorang yang bisa memenej rasa cem-burunya dengan baik, maka dia berhasil mengendalikan perasaannya. Karena itu pula, ia akan memperoleh kebahagiaan dan kenikmatan dikarenakan keber-hasilannya mengalahkan nafsu.

Emosi yang tak terkendali hanya akan melelahkan, menyakitkan, dan meresah-kan diri sendiri. Sebab, ketika marah, misalnya, maka kemarahannya akan meluap dan sulit dikendalikan. Dan itu akan membuat seluruh tubuhnya  geme-tar, mudah memaki siapa saja, seluruh isi hatinya tertumpah ruah, nafasnya tersengal-sengal, dan ia akan cenderung bertindak sekehendak nafsunya.

Akan tetapi barangsiapa mampu menguasai emosinya, mengendalikan akalnya dan menimbang segalanya dengan benar, maka ia akan melihat kebenaran, akan tahu jalan yang lurus.

Oleh karena itu, pentingnya bagi kita untuk senantiasa berbaik sangka kepada siapapun (kaum muslimin) termasuk kepada pasangan kita. Dengan pola demikian, maka hidup kita akan diliputi ketenangan dan kenyamanan. Tenaga tidak terkuras habis hanya untuk hal yang sepele.

Akhirnya kita berdo’a kepada Alloh  agar ditetapkan dalam perasaan yang baik. Perasaan yang senantiasa memancarkan sinar positif kepada siapapun, sehingga keberkahan akan senantiasa kita dapatkan dari Alloh . Keluarga yang sakinah, ma-waddah dan rahmah merupakan cita-cita setiap pasangan suami istri. Tentu ini tidak akan terjalin manakala diantara keduanya sudah hilang saling percaya dan mengedepankan cemburu buta. Semoga kita tidak demikian.

Rasululloh  sebagai suri tauladan kita sejak jauh-jauh hari telah menerapkan metode tersebut, sehingga kita sebagai ummatnya yang senantiasa bertittiba’ kepada beliau  dapat mencontoh apa yang beliau  lakukan. Sekaligus juga me-nerapkannya pada kehidupan sehari-hari.

Mengumbar Rahasia Pasutri

Ada suami yang tak punya rasa malu. Tabir tebal keburukannya tersingkap di hadapannya. Tanpa malu dan sungkan, Anda mendengarnya membicarakan rahasia ranjangnya, tentang hubungan intim antara dirinya dengan istrinya. Ia merasa bangga, dan menilainya sebagai kesempurnaan kejantanannya. Demi Allah, itu bukanlah simbol kebanggaan maupun kejantanan. Itu adalah kehinaan dan keburukan.

Kebanggaan apa yang diperoleh degan menyingkap keburukan? seperti perkataan orang, keburukan disebut dengan keburukan karena tersingkapnya keburukan tersebut membuat orang lain terganggu. Orang yang berakal tak mungkin mau membuka keburukannya, berdasarkan fitrah dan nalar. Apalagi syariat Islam menegaskan larangan tentang hal itu. Bagaimana mungkin seseorang diperbolehkan membeberkan keburukan, seolah orang yang mendengarnya, melihatnya langsung?

Perbuatan ini , sungguh merusak tirai dari Allah. Mencampakkan kerudung malu dan membuka pintu keburukan yang besar. Allah bersifat Hayyir Sattir (Maha Malu lagi Maha Menutupi Kesalahan hamba-Nya) yang mencintai tirai dan rasa malu. Ranjang itu memiliki rahasia-rahasia yang harus dibentengi. Salah satu hak suami-istri atas pasangannya, adalah masing-masing tidak membicarakan rahasia-rahasia ranjang yang terjadi di antara mereka berdua. Melakukannya, tak seperti mengubah diri mereka menjadi setan betina yang bertemu di suatu jalan, lalu mereka bersetubuh di depan khalayak ramai.

perumpamaan ini disebutkan dalam sebuah hadits Nabi saw. Asma’ binti Yazid tengah berada di sisi Rasulullah saw. Kaum pria dan wanita duduk di sekitar beliau. Beliau bersabda, “Mungkin seorang pria mengatakan apa yang dilakukannya bersama istrinya, dan mungkin seorang wanita mengatakan apa yang dilakukannya bersama suaminya.” (Musnad Ahmad No. 1259)

Mereka semua diam tidak menjawab. Maka aku, Asma’ binti Yazid) menjawab, “Ya, demi Allah, wahai Rasulullah! Kaum wanita melakukannya. Kaum laki-laki juga melakukannya.” Beliau bersabda, “Janganlah lakukan setan jantan bertemu setan betina di suatu jalan, lalu ia menyetubuhinya sedang orang-orang melihatnya.” (HR. Ahmad)

Hadits ini melarang dengan keras dan tegas membuka rahasia ranjang, membuka dan menyiarkan hal ini seolah-olah adegan persetubuhan tersebut dipertontonkan di sebuah ruas jalan. Godaan setan yang tersaji di jalan umum membuat jiwa-jiwa pendosa menginginkannya. Mereka tak segan merogoh kocek banyak untuk meraihnya. Tindakan ini juga sejenis bentuk membeberkan keburukan, memotivasi orang-orang sesat, dan mencampakkan tirai rasa malu.

Ada juga mudharat lain terhadap istri. Istri memiliki perasaan malu lebih daripada suaminya. Sifat suami menyebarkan rahasianya membuat perasaannya tertekan ketika berhubungan intim dengan suaminya. Maksudnya, agar suaminya tak punya bahan untuk disebarkan kepada orang lain.

Inilah salah satu hikmah, mengapa Islam mengajarkan agar suami menjadi pakaian dan tirai penutup bagi istrinya. Demikian pula sebalinya. Dengan begitu, masing-masing dapat melakukannya secara alami, tanpa merasa khawatir atau malu. Dengan begitu, ketentraman dan kasih sayang dapat direguk bersama. Lain halnya, jika salah satu pasangan merasa khawatir rahasia ranjangnya akan diketahui oleh orang lain.

Orang yang menyebarkan rahasia hubungan intim bersama pasangannya diancam keras. Nabi saw menggolongkannya sebagai manusia terburuk. Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim, dari Abu Sa’id al Khudri, Rasulullah saw bersabda: “Manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat ialah orang yang mendatangi (menyetubuhi) istrinya, atau istri mendatangi suaminya, kemudian ia menyebarkan rahasia istrinya (atau sebaliknya).”

An Nawawi menjelaskan, “Hadits ini menegaskan, diharamkannya suami menyebarkan apa yang terjadi antara dia dan istrinya, berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut persetubuhan, membeberkannya secara terperinci, dan apapun yang terjadi bersama istrinya berupa ucapan, perbuatan dan sejenisnya.”

Sekedar  menyebut Jima’ tanpa ada manfaat dan keperluannya, maka hukumnya adalah makruh. Sebab, ini menyalahi kehormatan pribadi (muru’ah). Nabi saw bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau lebih baik diam.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Namun, jika diperlukan untuk menyebut kata Jima’, misalnya karena sang istri suka menghindar, atau ia ditimpa lemah syahwat, maka tidak makruh baginya menyebut kata tersebut. Terdapat keringanan untuk membeberkan rahasia ranjang, jika seseorang perlu mendapatkan fatwa atau pengobatan. Ia boleh menceritakan tentang masalah ranjang, hanya sesuai dengan keperluan.

Karena Engkau Seorang Ayah

Diasuh oleh : Miftah Wangsadanureja S.Pd.I

Ayah. Atau bapak merupakan seseorang yang mempunyai peran yang sangat penting dalam keluarga. Karena dia adalah seorang figur sekaligus pemimpin yang akan dijadikan contoh oleh seluruh anggota keluarganya. Terutama pengaruhnya bagi kondisi dan perkembangan kejiwaan bagi seorang anak. Keretakan hubungan seorang ayah dengan anaknya juga bisa menjadi salah satu sebab ketidakharmonisan di dalam rumah tangga.

Banyak anak yang merasa kecewa terhadap ayahnya sendiri. Bayang-bayang masa lalu sang ayah kerap muncul sehingga rasa kecewa malah mungkin rasa benci akan tumbuh pada hati sang anak.
Kondisi ini bisa saja dikarenakan berbagai faktor. Sang ayah yang tempramental, yang jika anaknya berbuat salah dia langsung meluapkan kemarahannya dengan memukul buah hatinya sendiri sampai tak karuan. Atau karena sang ayah kurang memperhatikan hak-hak anaknya yang seharusnya ia terima.
Bagi seorang anak tentu saja hal ini akan menjadi sebuah trauma. Pukulan atau cacian bisa saja hilang dengan seketika tapi amarah dan muka garang sang ayah akan terus membekas pada jiwanya.
Lebih gawatnya lagi, jika bayang-bayang itu terbawa ketika sang anak sudah dewasa. Dulu yang dia dipukul diam saja, sekarang dia sudah merasa mempunyai kekuatan untuk melawan keganasan dari sikap ayahnya.
Kalau sudah demikian siapa sebenarnya yang harus disalahkan. Apakah sang ayah dengan kekolotannya bahwa apa yang dilakukannya sebenarnya hanya untuk kebaikan anaknya sendiri, atau sang anak yang tidak mau menerima sikap keras dari sang ayah?
Sebenarnya jawaban tersebut bisa dikembalikan kepada pribadi masing-masing. Maksudnya itu semua akan terjawab dengan proses.
Sebagai contoh, ada seorang ayah ketika dia memiliki anak pertamanya, dia mendidik anaknya itu dengan kekerasan. Tujuannya baik, supaya anak nya mau menurut dan menjadi anak yang soleh.
Sikap nya itu terus dipertahankan sampai lahirlah anak kedua ketiga dan keempat. Tapi dari keempat anaknya itu timbul sifat yang berbeda-beda. Ada yang malah menjadi balik memusuhinya, ada yang bersifat dingin terhadap dirinya ada juga yang menjadi super pendiam.
Melihat keadaan sifat anak-anaknya tersebut dan seiring perjalanan waktu dan ilmu ia pun bertambah, ia menyadari bahwa ia telah salah dalam mendidik anaknya.
Ia pun sadar bahwa kalau hal ini terus berlanjut akan mempengaruhi keharmonisan dalam rumah tangga.
Barulah anak-anak yang lahir setelahnya ia berusaha untuk mendidiknya dengan cara yang lebih lembut tapi tidak memanjakan.
Begitupula dengan anak-anaknya. Sebagai seorang anak pertama, ia merasa sebagai bahan percobaan dari didikan keras ayahnya. Sampai telah tumbuh dewasa bahkan sudah memiliki anak, rasa bencinya terhadap sang ayah tidak bisa dihilangkan.
Semua kegagalan yang menimpa dirinya langsung dialamatkan kepada kesalahan sang ayah pada masa lalu.
Adapun dengan sikap anak keduanya, dia dapat menilai sikap salah dari ayah nya itu. Namun ia pun cepat memahami dan memaafkan sikap ayahnya tersebut.
Bagi dirinya, buat apa selalu menyalahakan ayah toh dia adalah orang tua yang harus selalu dihormati dan disayanginya, apalagi Islam pun mensyareatkannya demikian.
“………Dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-keduanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” (QS. Al-Isra {17}:23)
Sisi yang lain adalah sebuah potret keluarga yang terlalu memanjakan sang anak. Saya pernah membaca sebuah artikel kisah nyata, yang isinya menceritakan ada seorang keluarga yang hanya memiliki seorang anak. Saking sayangnya mereka pun berusaha memberikan yang terbaik bagi anak nya itu.
Sampai satu ketika sang anak meminta untuk kuliah di luar negeri untuk mengambil jurusan kedokteran.
Lagi-lagi sang ayah memenuhi keinginan anaknya tersebut, ditambah memang keadaan ekonomi yang cukup memadai.
Di luar negeri. Ternyata sang anak terbawa dengan kebiasaan orang-orang barat yaitu hidup mewah dan keglamoran lainnya.
Sikap hendonisnya pun semakin menjadi ketika sang anak dari keluarga kaya itu berkenalan dengan seorang wanita asing yang tinggal berdekatan dengan flat (di Indonesia mungkin bisa dibilang kos-kosan atau rumah kontrakan) nya.
Karena hubungannya yang sudah terlanjur jauh, sang gadis bule itu meminta untuk dinikahi sebab diperutnya telah tersimpan janin hasil perbuatan haram mereka.
Sang anak kini telah menjadi seorang ayah. Sebagai seorang suami ia harus menghidupi keluarganya. Karena belum mempunyai pekerjaan yang tetap, salah satu penghasilan dirinya adalah menunggu kiriman uang dari orang tuanya saja.
Sampai akhirnya orang tuanya merasa heran, batas waktu kuliah yang seharusnya selesai belum juga selesai. Singkat cerita harta sang ayah kini mulai habis, si anak yang berada di negeri sebrang itu jarang dikirim lagi uang ia pun mulai merasa dicampakan oleh orang tuanya.
Ia mulai bangkit dan berusaha mandiri. Sehingga ketika ia lulus dan mendapat gelar dokternya ia dan istri bulenya itu pulang ke daerah asalnya dan membuka praktek disana.
Sang dokter muda itu sekarang makin terkenal, sampai-sampai terdengarlah berita kemasyhuran dokter baru itu kepada orang tuanya.
Dengan penuh rasa kegembiraan, orang tuanya langsung mendatangi tempat yang dimaksud. Setibanya disana, mereka dapat memastikan bahwa dokter kaya itu adalah anak semata wayangnya yang selama ini menjadi dambaan keluarga.
Sayang, bukan sambutan yang diterimanya, cacian dan makian keluar dari mulut sang dokter tersebut.
Sang ayah hanya mengelus dada dan kecewa terhadap sang anak. Anak yang tadinya diharapkan meneruskan kedigjayaan keluarga, kini menjadi sesosok orang yang buruk budi pekertinya.
Allah menunjukan ke Maha Besaran Nya, suatu hari dia bersama keluarganya mendapatkan musibah dalam sebuah kecelakaan. Ajal pun tak bisa lari dari mereka, seluruh harta kekayaannya kini menjadi milik kedua orangtuanya.
Anak memang titipan, tapi ia pun bisa menjadi ujian atau cobaan. Setiap ayah pastinya ingin memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya, tapi yang sangat disayangkan disini adalah ketika sikap atau cara mendidik kita yang keterlaluan dan berlebihan.
Terlalu keras, sehingga sang anak menjadi bumerang bagi diri sang ayah sendiri. Juga terlalu lembek dan cenderung memanjakan yang akhirnya sang anak selalu tergantung kepada orang tua.
Dua sisi dari sikap sang ayah ini adalah fenomena yang sering kita temukan dalam bingkai kehidupan anak manusia. Dan sekali lagi hal tersebut bisa menjadi penyebab ketidak harmonisan dalam keluarga.
Keluarga sakinah bukan berarti keluarga yang bebas dari beban dan ujian. Justru ujian itu akan ada dan selalu ada, tergantung bagaimana kita menyikapi semua itu.
Mengarungi biduk rumah tangga adalah perjalanan yang penuh liku. Kadang turun dan kadang menanjak. Kita harus memiliki kendali, dimana kita bisa mengerem disaat turun dan menginjak gas disaat naik agar bahtera keluarga kita bisa terus stabil dan seimbang.
Manusia normal adalah yang menyukai dengan seimbang dan membenci juga dengan seimbang. Segalanya diukur dengan timbangan keadilan. Disebutkan, “Jika Anda melihat adanya sikap israf (berlebihan) atau ifrath (keterlaluan) pada suatu sisi, maka akan ada juga sikap taqtir atau tafrith (kelalaian) pada sisi lainnya”. (Mesra Sepanjang usia, karya Syaikh Muhammad Mahmud, Pustala Al-Kautsar hal. 52).
Allah telah memberikan kedudukan yang mulia bagi siapa saja yang telah menjadi seorang ayah. Oleh karena itu kesempatan yang diberikan ini pun sudah seharusnya jangan sampai disia-siakan begitu saja.
Rasulallah pun memberikan kabar gembira kepada setiap ayah, melalui sabda beliau:
ثَلاَثٌ دَعْوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ دَعْوَةُ اْلوَالِدِل وَ دَعْوَةُ الْمُسَافِرِوَ دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ

“Tiga Doa yang mustajab dan tidak ada keraguan di dalamnya, yaitu Do’a seorang ayah dan do’a seorang yang sedang berpergian dan do’a orang yang terdzholimi…” (HR. Abu Daud)
Dalam hadits yang lain dengan redaksi yang hampir sama, yaitu do’a seorang ayah untuk anaknya.
Masya Allah, kita harus meyakini bahwa doa sang ayah adalah maqbul alias mustajab. Maka berikanlah perkatan-perkatan yang baik kepada anak-anak kita agar anak kita menjadi anak yang sholeh.
Lebih jauh dari pada itu semua, kita berharap hubungan baik pun dapat terjalin antara ayah dengan anaknya.
wahai engkau para ayah. Sekali lagi tentu kita sangat menyayangi anak-anak kita, sebab merekalah penerus harapan dan cita-cita keluarga.
Jangan merasa engkau belum berhasil dalam mendidik anak-anakmu dikarenakan engkau seorang yang tak berharta. Juga jangan berlebihan jika di dunia ini engkau memiliki segalanya, berikanlah sesuai dengan batas-batas tertentu, tidak pelit dan juga tidak boros.
Jika memang engkau tak memiliki harta ataupun ilmu yang ingin engkau warisi demi anak-anakmu, engkau masih memiliki seuntai do’a.
“Duhai ananda, maafkan ayah jika ayah tidak bisa memberikanmu yang terbaik. Ayah belum sempat mensekolahkanmu untuk menutut ilmu agama sesuai dengan cita-citamu itu.
Maafkan ayah karena tak bisa mewarisi harta yang melimpah, tapi….perlu engkau tahu wahai anakku, bahwa aku telah mempersiapkan seuntai kata untukmu. Kata-kata yang akan mempertemukan kita di surgaNya nanti. Ya…kita akan bertemu di sana, di taman firdaus. Kita akan kembali membina sebuah keluarga yang paling bahagia diantara keluarga-keluarga yang ada di dunia. Salam sayang dari ayahmu….”

Menuju Keluarga Bahagia

Menuju Keluarga Bahagia

Membentuk dan membina keluarga islami merupakan cita-cita luhur setiap muslim. Keluarga islami adalah salah satu pondasi yang harus diwujudkan karena keluarga adalah salah satu unsur pembentuk masyarakat luas. Jika semakin banyak keluarga menerapkan konsep islami, maka diharapkan semakin mudah membentuk masyarakat islami
Awal mula dari keluarga tersebut, berawal dari pernikahan, pernikahan adalah peletakan batu pertama untuk sebuah bangunan keluarga. Dan rumah tangga bahagia tidak mungkin tercipta melainkan harus ditegakkan di atas pilar-pilar yang mencakup beberapa unsur antara lain; ketenangan atau sakinah; saling mencintai; saling mengasihi dan menyayangi; dan saling melindungi. Seperti firman Allah yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah, dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar Ruum 21)

Apabila keluarga telah menegakkan nilai-nilai tersebut, maka tingkat rumah tangga yang ideal bisa tercapai dan cita-cita untuk menuju keluarga bahagia dan sakinah bisa terwujud. Jika sebuah keluarga dibangun dengan baik tentunya akan menyemai benih kehidupan rumah tangga dengan penuh kejujuran, kebersamaan, keterbukaan, saling pengertian, saling melengkapi, saling percaya dan saling membutuhkan; dan secara otomatis akan terbangun rasa cinta yang tulus, kemesraan dan tanggung jawab di antara anggota keluarga.

Keadilan dan pergaulan yang baik antara suami dan isteri adalah landasan utama untuk membentuk keluarga bahagia sejahtera. Untuk menegakkan tujuan mulia di atas seluruh anggota keluarga harus memperhatikan beberapa aspek di bawah ini:

1. Aspek Pembinaan Suami dan Isteri
Stabilitas rumah tangga merupakan tanggung jawab suami dan isteri. Dalam Islam seorang bapak bertugas untuk menjadi pemimpin, pembina dan pengendali keluarga dan roda rumah tangga, sebagaimana firman Allah yang artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (An Nisa’- 34)

Adapun ibu memiliki tugas yang lebih mulia yaitu merawat rumah beserta isinya dan mendidik anak serta menjaga segala amanat rumah tangga sehingga ibu laksana madrasah bagi anak-anaknya seperti yang dituturkan sebagian ahli syair:

“Ibu bagaikan sekolahan, apabila engkau persiapkan dia, berarti engkau telah mempersiapkan suatu bangsa dengan dasar yang baik”.

Jadi kedua orang tua yang baik merupakan modal utama untuk membentuk keluarga bahagia dan sejahtera.

2. Aspek Keimanan Keluarga
Tiang peyangga utama rumah tangga adalah agama dan moral. Rumah tangga hendaknya bersih dari segala bentuk kesyirikan dan tradisi jahiliyah, serta semarak dengan aktifitas ibadah seperti salat, puasa, membaca Al-Qur’an dan berdzikir sehingga rumah terlihat hidup dan sehat secara jasmani dan rohani, sejalan dengan sabda Rasulullah :
“Perumpamaan rumah yang di dalamnya ada dzikrullah, dan rumah yang tidak ada dzikrullah di dalamnya, ibarat orang hidup dan orang mati”.

Seluruh anggota keluarga harus membiasakan berdo’a terlebih tatkala keluar dan masuk rumah dan do’a-do’a yang lain. Biasakan di dalam rumah untuk selalu membaca surat Al-Baqarah, karena itu bisa mengusir syaithan. Rasulullah bersabda:
“Janganlah jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan! Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al Baqarah”.

3. Aspek Ilmu Agama Keluarga
Dalam hal ini Rasulullah bersabda, artinya: “Tiga orang yang mendapat dua pahala; seorang dari ahli kitab yang beriman kepada nabinya dan kemudian beriman kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; seorang hamba sahaya yang mampu menunaikan hak Allah dan hak majikannya; dan seorang laki-laki yang mempunyai hamba sahaya perempuan lalu ia mendidiknya dengan baik, mengajarinya dengan baik, kemudian ia memerdeka-kannya lalu menikahinya maka baginya dua pahala, (HR. Al-Bukhari)

Lebih penting lagi mengajari wanita tentang ilmu agama di rumah-rumah seperti yang telah dilakukan Nabi Muhammad . Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallah ‘anhu telah menuturkan bahwa pernah para wanita mengeluh kepada Nabi dan mengatakan: “Kami telah dikalahkan kaum laki-laki dalam berkhidmat kepadamu, karena itu buatlah untuk kami suatu hari dari harimu.”
Maka beliaupun menyediakan waktu khusus untuk bertemu dengan mereka lalu beliau memberi nasehat dan memerintah mereka.

Dengan demikian pengadaan perpustakaan mini, tape rekorder dan audio visual serta mendatangkan ulama atau orang saleh ke rumah merupakan langkah yang tepat untuk meningkatkan ilmu pengetahuan keluarga.

4. Aspek Ibadah dan Moral
Aspek ibadah yang terpenting adalah shalat, baik shalat fadhu ataupun sunnah. Laki-laki hendaknya membiasakan shalat di Masjid dan perempuan dianjurkan shalat di rumah. Shalat sunnah bagi semuanya lebih utama dilakukan di rumah berdasarkan sabda Nabi Muhammad :
“Sebaik-baik shalat laki-laki adalah di rumahnya, kecuali shalat fardhu”. (H.R Abu Daud)

Adapun aspek moral, hendaknya semua anggota keluarga menghiasi prilaku masing-masing dengan akhlaqul karimah dan adab yang mulia, seperti makan dengan tangan kanan, masuk rumah orang lain dengan izin, menghargai tetangga, menghormati tamu, melarang anak masuk ke kamar tidur bapak atau ibu tanpa izin khususnya waktu sebelum subuh, waktu tidur malam dan setelah shalat isya; mengintip rumah orang lain dan adab-adab terpuji lainnya. Dan sebisa mungkin menyingkirkan seluruh akhlaq tercela seperti berbohong, menipu, marah, menggunjing, ingkar janji dan semisalnya. Latihlah keluarga anda untuk selalu qana’ah dan rela terhadap pembagian Allah , mencintai dan dekat terhadap orang-orang miskin, senang bersilaturrahmi, hanya mengharap ridha Allah , dan berkata benar walapun dirasa pahit dan penuh resiko.

5. Aspek Sosial dan Lingkungan
Agar kehidupan sosial keluarga memiliki hubungan harmonis, maka sebaiknya setiap anggota keluarga diberi kesempatan untuk mendiskusikan setiap masalah dan problem keluarga secara transparan dan terbuka sehingga seluruh masalah bisa terpecahkan sebaik mungkin.
Bagi orang tua sebaiknya tidak menampakkan konflik intern di hadapan anak-anak dan semaksimal mungkin merahasiakan konflik yang terjadi, agar anak tidak terbebani secara mental, apalagi konflik tersebut membentuk kubu di antara anak-anak. Rumah juga harus diamankan agar tidak dimasuki orang-orang jahat dan orang fasik, sehingga anggota keluarga terbebas dari pengaruh kejahatan. Dan rumah harus kita selamatkan dari pengaruh media (televisi, koran, majalah dan lain-lain) yang merusak iman dan akhlaq, karena media itu lebih cepat memberi dampak negatif kepada keluarga.

6. Akhlaq Bergaul
• Mentradisikan Pergaulan Yang Baik
• Menumbuhkan sikap ramah dan santun.
Rasulullah bersabda: “Jika Allah menghendaki kebaikan kepada suatu keluarga maka Ia anugerahkan atas mereka sifat ramah lagi santun”.
• Tolong Menolong dalam Menyelesaikan Pekerjaan Rumah Rasulullah menjahit baju, memperbaiki sandal dan mengerjakan pekerjaan lain dengan tangan sendiri, seperti yang telah dituturkan oleh Aisyah: “Sesungguhnya beliau adalah manusia di antara sekalian manusia, membersihkan bajunya, memerah susu kambingnya dan melayani dirinya”. (HR. Ahmad)
• Bersikap Lembut dan Bercanda dengan Keluarga
Bersikap lembut kepada isteri dan anak adalah salah satu faktor yang mampu menumbuhkan iklim yang sejuk dan hubungan yang mesra di tengah-tengah keluarga. Karena itu Rasulullah menasehati Jabir agar mencari jodoh yang gadis dan beliau bersabda:
“Kenapa tidak engkau pilih gadis sehingga engkau bisa mencandainya dan dia mencandaimu, dan engkau bisa membuatnya tertawa dan dia membuatmu tertawa”.
Sangat banyak riwayat dari Rasulullah , bahwa beliau bercanda seperti beliau pernah bercanda dengan isterinya dikala mandi, dengan anak-anak kecil dan cucu-cucunya. Bahkan tatkala ada orang baduwi yang bernama Aqra’ berkata: “Saya mempunyai sepuluh anak, saya tidak pernah mencium seorangpun dari mereka”. Maka Rasulullah melihat kepadanya dan bersabda:”Barangsiapa yang tidak mengasihi, maka ia tidak dikasihi. (HR. Al-Bukhari)

Menjadi Suami Idaman

Menjadi
Suami Idaman

Pertengkaran yang sering terjadi dan berlarut-larut
bisa membuat keluarga berantakan.
Seringlah merenung, tabunglah pertimbangan.

Ada suami yang sering berteng-kar. Ia selalu siap untuk bertengkar dengan istrinya bahkan dalam masa-lah sepele.
Seringkali perselisihan itu dise-babkan oleh hal-hal yang remeh. De-ngan sedikit akal dan jiwa besar, se-seorang bisa memandangnya de-ngan tersenyum. Kehidupan pada umumnya, rumah tangga pada khu-susnya, tidak lepas dari hal-hal yang melelahkan jiwa dan mengeruhkan pikiran. Jika manusia terus-menerus dalam kepedihan karena berbagai persoalan kecil, hal itu hanya akan membuat jiwanya makin sempit, akalnya dangkal dan terlalu cepat bersedih.

Jika kita renungkan, sangat se-dikit orang yang pikirannya sejalan dengan keinginan kita. Karena itu, sebaiknya kita tidak menunggu ter-lalu lama untuk menyimpulkan: kita membidik sesuatu yang mustahil.

Yang terbaik bagi kita adalah memperlakukan orang (terutama yang berinteraksi langsung) secara apa adanya, menghormati dan tidak menghinanya. Hal itu menjadikan kita berjiwa luas, menerima peker-jaan-pekerjaan kecil dengan lapang dada dan jiwa tenang, berusaha me-mecahkan persoalan dengan tidak tergesa-gesa, memandang jauh dalam berbagai urusan, tanpa menyepelekan atau terlalu mencemaskan sesuatu.

Suami hendaknya tidak menjadi-kan rumahnya sebagai arena caci maki. Tidak memaksakan semua pendapatnya pada istrinya, benar ataupun salah.

Yang harus dilakukan oleh setiap suami adalah menghormati pen-dapat istrinya, agar komunikasinya dengan sang istri disejukkan oleh embun cinta kasih, selalu berorientasi pada kebaikan. Jiwa hanya dapat digiring dengan kata-kata jujur dan argumen yang terkendali.

Suami-istri tak perlu berdebat secara panjang lebar, sehingga ber-ujung pada pertengkaran. Sebaik-nya masing-masing menarik pen-dapatnya jika telah nampak kebe-naran pada sebuah pendapat.

Alloh berfirman,

“Dan hendaklah mereka memaaf-kan dan berlapang dada.” (QS. An Nur: 22).

Jika perdebatan sudah memanas, sebaik-baik cara untuk mengatasi-nya adalah meninggalkannya, dan beralih ke topik yang lain. Tidak bijak membawa kehidupan rumah tangga pada kehancuran gara-gara meneruskan hal-hal yang tak ber-guna.

Alloh berfirman,

“Maka barangsiapa mema`afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Alloh.” (QS. Asy-Syu-ra: 40).
Saling menghormati di antara suami-istri menjadikan semangat me-wujudkan kasih sayang lebih ber-harga daripada sekadar pendapat tentang sebuah urusan. Mengubah perabot rumah tangga atau memilih warna kasur, tak pantas dijadikan bahan perselisihan yang mengan-cam bangunan rumah tangga.

Lakukanlah kompromi. Berkom-promi bukan berarti kalah dan mem-biarkan pasangan menang. Kompro-mi didasarkan pada rasa saling meng-hormati. Sebagai contoh, biasanya, seorang istri lebih hati-hati dibanding suami, dan ketika suatu waktu berse-lisih pendapat tentang keuangan yang harus diperketat untuk tidak terlalu membeli banyak barang, baik suami maupun istri harus saling menghor-mati pertimbangan masing-masing.

Hindarkan juga sikap menjustify (penilaian yang menyudutkan) berupa seruan dan ujaran seperti, “Kamu ti-dak pernah suka kalau…”, “Seandai-nya kamu peduli…”, “Kamu tidak ta-hu apa-apa, coba kamu ada di posisi saya…” Kalimat seperti itu merupakan “pukulan KO” untuk upaya memba-has perbedaan secara konstruktif. Se-olah semua kesalahan ditimpakan pa-da lawan bicara. Perlembutlah ucap-kan dan lunakkanlah suara. Pilih kata-kata yang baik dan tidak menyakitkan.
Diantara sifat buruk lainnya yang biasa menghinggapi sang suami adalah; kurang berterima kasih ke-pada Istri.

Pandai berterima kasih adalah pertanda budi pekerti. Orang yang pertama kali berhak mendapatkan-nya dari suami adalah sang istri.
Ada suami yang tidak berterima kasih kepada istrinya ketika ia ber-buat baik. Ia tidak pernah mendo-rong istrinya melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya.

Sebagai contoh, sang istri telah menyiapkan makanan yang dise-nangi suami, membuat kehormatan-nya terangkat ketika tamu datang, merawat anak-anak dengan sebaik-baiknya, menampilkan diri di hadap-an suaminya dengan pakaian yang terbaik, penampilan menawan, dan seterusnya. Walau begitu ia tidak pernah menerima ucapan terima kasih, senyum kepuasan atau pan-dangan lembut dan kasih sayang, apalagi hadiah. Sikap ini termasuk bakhil, kasar dan penghinaan.

Terkadang suami berdalih pada dirinya sendiri; khawatir istrinya merasa tersanjung dan terpedaya, jika ia berterima kasih atau memuji-nya.

Ucapan ini tidak benar secara mutlak. Wahai suami yang mulia! Jangan bakhil terhadap sesuatu yang mendatangkan kebahagiaan untukmu dan istrimu. Jangan lupa-kan hal-hal kecil seperti ini, karena ia mempunyai manfaat dan penga-ruh luar biasa.

Apa ruginya jika kita memuji istri karena kecantikannya dan kerajinan-nya? apa ruginya jika kita berterima kasih padanya atas suguhan yang ia siapkan untuk tamu kita? berterima kasih karena telah mengurus rumah dan anak-anak, walaupun ia melaku-kannya sebagai kewajiban. Semua itu dapat memperkuat kasih sayang an-tara suami-istri.

Jika istri mendapatkan perlaku-an seperti itu dari suaminya, ia akan bahagia dan bertambah rajin. Ia makin terdorong untuk melayani suaminya dan bersegera menuju keridhoannya. Ia mendapatkan ka-sih sayang, belas kasih dan peng-hargaan.

Jika hatinya sarat dengan ber-bagai spirit dan dorongan ini, maka ia akan hidup bersama suaminya dengan penuh kedamaian dan ke-tentraman. Manfaatnya akan kem-bali kepada suami dengan mem-bawa cinta dan kegembiraan.

Rasululloh bersabda sebagai wa-siat bagi para suami, “Orang mu’min yang paling sempurna imannya ada-lah yang paling baik akhlaknya, dan yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istrinya.” (HR. Tirmidzi).

Ketika Harus Pindah Rumah

Rumah, tempat tinggal yang mendatangkan ketentram-an bagi para penghuninya. Secara fisik, bangunan rumah yang terdiri dari berbagai ruangan dengan kelengkapan perabotannya sangat dibutuhkan oleh seluruh anggota keluarga. Rumah memang diperun-tukkan bagi keluarga untuk meran-cang, melaksanakan, dan mengeva-luasi segala aktivitas.

Segala aktivitas dimulai dari rumah. Hal ini disepakati oleh mereka yang memfungsikan rumah sebagai tempat berkumpulnya “manajer, direksi, dan staf”. Tidak berlebihan bila rumah diibaratkan sebagai perusahaan yang mengusung visi dan menjalankan misi demi tercapainya keluarga sakinah.

Sakinah dimaknai sebagai kete-nangan dan ketenteraman jiwa. Ha-kikatnya hanyalah Alloh yang menganugerahi ketenangan ke dalam hati orang-orang beriman agar tabah dan tidak gentar menghadapi segala bentuk tantangan, rintangan, ujian, cobaan dan musibah. Dengan demi-kian, keluarga sakinah dapat berarti keluarga yang tangguh dan di dalam-nya setiap anggota menemukan ke-tenangan dan ketenteraman jiwa. Keluarga sakinah tidak lain adalah keluarga yang bahagia lahir batin, penuh diliputi cinta kasih mawaddah wa rahmah.

Alloh berfirman,“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kamu cen-derung dan merasa tenteram kepa-danya, dan dijadikan-Nya diantara kalian rasa kasih dan sayang. Sesung-guhnya pada yang demikian itu be-nar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Ruum: 21)

Demikian pula firman-Nya, “Se-sungguhnya orang-orang yang ber-iman dan beramal-shalih, kelak Alloh Yang Maha Pemurah akan menanam-kan dalam (hati) mereka rasa cinta (kasih sayang).” (QS. Maryam: 96)

Tidak sedikit masalah yang diha-dapi oleh setiap keluarga. Bila sebuah keluarga belum memiliki rumah, maka ini merupakan bagian masalah utama baginya. Bila ia sudah mampu me-netap di suatu rumah, ia pun berpikir tentang tetangganya. Bila mereka ha-rus pindah rumah, ini pun perkara yang tidak bisa diremehkan.
Setidaknya ada 2 persoalan yang perlu diperhatikan ketika suatu ke-luarga harus memutuskan pindah rumah. Terlepas dari faktor penyebab mereka harus pindah rumah. Bisa karena tuntutan pekerjaan, atau ka-rena bencana alam, dan lain-lain. Tetapi yang pasti, 2 hal yang mesti diperhatikan adalah mengenai te-tangga, dan pengaruh pindah ter-hadap anak-anak.

Memilih Tetangga

Tetangga memiliki pengaruh yang tidak kecil terhadap suatu keluarga. Ini pasti, siapa yang ingin mengisolir diri, sedangkan ia hidup di sekitar keluarga lainnya. Terlebih lagi Rasulul-lah mengabarkan kepada kita ten-tang pentingnya tetangga yang baik sebagai unsur kebahagiaan keluarga. Beliau juga menyebutkan hal yang termasuk kesengsaraan di antaranya tetangga yang jahat. Karena bahaya-nya tetangga yang jahat ini, Rasulul-lah berlindung kepada Alloh dari-nya dengan berdo’a, “Ya Alloh, aku berlindung kepada-Mu dari tetangga yang jahat di rumah tempat tinggal, karena tetangga nomaden (tinggal untuk waktu tertentu) akan pindah”. Rasulullah memerintahkan umat Islam untuk berlindung pula darinya dengan mengatakan, “Berlindunglah kalian kepada Alloh dari tetangga yang jahat di rumah tempat tinggal, karena tetangga yang nomaden akan berpindah daripadamu”.

Peringatan ini berlaku kepada se-mua orang agar menjadi tetangga yang baik. Bagi pendatang, mestilah ia memperhatikan kaidah-kaidah bertetangga, dan menemukan ling-kungan tetangga yang baik. Sedang-kan bagi pemukim lama, patutlah ia menerima orang baik-baik di ling-kungan sekitar tempat tinggalnya tersebut.
Dalam hal ini, bagi seseorang yang hendak mencari tempat tinggal baru (menetap ataupun mengontrak), se-benarnya ia harus terlebih dahulu mengenal lingkungan tempat ia akan tinggal. Tidak sedikit pengalaman keluarga yang tidak menemukan keharmonisan dengan lingkungan tempat tinggal barunya, lantaran ia lalai memperhatikan kondisi lingkung-an, karakter dan kebaikan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Dampaknya Terhadap Anak

Berpindah-pindah rumah, dari satu rumah ke rumah lain, mencari yang terbaik. Perpindahan rumah ini membawa perubahan lingkungan secara keseluruhannya; lingkungan yang dimiliki anak-anak, yang me-nyatukannya dengan keluarga dan lingkungannya, tempat ia berinter-aksi dengan lingkungannya.

Meskipun alasan perpindahan rumah adalah baik, tetapi kita pun perlu memperhatikan sejumlah hal negatif yang mungkin terjadi kepada perkembangan anak-anak kita.

Pada dasarnya, anak selalu ber-sama dengan keluarganya. Kepin-dahan orang tua akan berpengaruh terhadap anak-anak mereka.

Anak yang berpindah tempat ting-gal, sudah jelas, ia akan kehilangan kawan-kawan lamanya. Secara psi-kologis pun, ia mengalami gangguan istirahat dan situasi (karena suasana kamar dan lain-lain yang berbeda). Ia pun perlu menyelaraskan kembali lingkungan bermainnya dengan apa yang sudah terekam di benaknya, sebagaimana bayangan rumah di mana ia dilahirkan dan ia tinggal di
dalamnya.

Lebih jauh, bila ia sudah meng-injak usia sekolah, maka ia akan ter-putus dari sekolah dan terputus inter-aksinya dengan lingkungan dan ka-wan-kawan di lingkungan sekolah-nya, bahkan dengan kursi yang per-nah ia duduki dahulu.

Apabila kondisinya demikian, maka sang anak perlu diberi pengertian yang bisa ia cerna. Hal ini perlu dilakukan agar hal negatif tersebut tidak membesar. Terlebih lagi apa-bila perpindahan tersebut karena faktor perpecahan rumah tangga (perceraian).

Intinya, sepantasnya bagi setiap keluarga yang hendak berpindah ru-mah memberikan pengertian kepada anak-anak tentang semua hal itu, dan yakinkan kepada mereka bahwa ke-pindahan tersebut akan lebih men-datangkan kebaikan bagi seluruh ang-gota keluarga.

Keluarga juga harus bisa mem-bantu anak-anaknya dalam bersa-habat dengan lingkungan barunya, dan memberi motivasi kepada anak untuk menjalin interaksi yang positif dengan lingkungan barunya tersebut.

Sesungguhnya di antara keindah-an Islam adalah besarnya motivasi untuk menjalin silaturahim, bertetang-ga secara baik, baik dengan tetangga dekat maupun jauh, saling mengun-jungi dan saling memberi hadiah. Kebaikan inilah yang mesti dibangun, bagusnya agama dan akhlak seluruh anggota keluarga ketika berinteraksi dengan tetangga.

PONDOK MERTUA INDAH… Sekali

Terkadang, ada hal yang menggelikan ketika kita mencoba jalan-jalan keluar. Ada apa…? Itu tuh… kalau melihat di beberapa mobil truk, biasanya kan di bagian belakangnya ada berbagai macam tulisan. Termasuk salah satunya yang ini nih, “BURONAN MERTUA..!” Ada-ada saja…

Kenapa sampai jadi buronan mertua ya? Tentunya para pengemudi truk itu punya berbagai macam alasan, dari sekedar guyonan saja, sampai mungkin benar-benar kisah pribadinya yang lari dikejar-kejar mertua. MasyaAlloh, serem juga tuh.

Nah dari kasus yang terakhir ini nih. Memang, sudah bukan rahasia umum bila sudah banyak kisah pahit yang kerap terjadi antar 2 lakon ini, yaitu antar menantu dan mertua dalam kehidupan berumah tangga.

Salah satu masalah yang senantiasa timbul adalah ketika seorang istri atau suami memutuskan untuk tinggal bersama mertuanya, yang mana semenjak tahun 80 an sudah terkenal dengan istilah PMI atau Pondok Mertua Indah.

Walaupun dibilang indah, tapi tidak semua pasutri yang biasanya memiliki masalah dengan mertuanya menyetujui kata terakhir dari kepanjangan PMI tersebut. Bahkan, tinggal di PMI ternyata sudah menjadi doktrin yang menyeramkan bagi sebagian para calon pasutri, terutama sekali bagi kalangan wanitanya. Sebagian mereka ada yang sampai memilih-memilih suami dengan kriteria tidak terlalu sayang ibu, karena takut bila menikah nanti sang suami akan mengajak tinggal serumah dengan ibunya. Wah bisa repot kalau begini jadinya.

Sebenarnya, jika kita mau berpikir positif, tak semua mertua menjadi momok yang menakutkan. Karena tak sedikit yang malah lebih akrab dengan mertuanya ketimbang dengan orang tuanya sendiri. Bahkan, bagi kita, tinggal bersama mertua bisa diambil sisi positifnya juga. Selain gratis, mertua, khususnya yang masih awam, bisa menjadi ladang dakwah kita. Tentu ini adalah tantangan buat kita, untuk menunjukkan bagaimana Islam yang benar kepada mereka.

Agar tetap bahagia walau hidup bersama mertua, maka ada beberapa point yang perlu kita perhatikan:

Mengetahui dan Memahami Sifat dan Karakter Mertua
Sebagai menantu kita harus mengetahui sifat-sifat dan karakter mertua kita. Hal itu penting agar kita bisa lebih memahami mertua, sehingga bisa mengerti dan menyikapi dengan bijaksana terhadap berbagai sikap dan tingkah laku mertua. Untuk mengetahui sifat dan karakter mereka, kita bisa menggali informasi dari anak-anaknya, termasuk suami atau istri kita sendiri. Selain itu tentu juga melalui pengamatan kita sehari-hari.

Dengan memahami sifat dan karakter mertua, diharapkan kita juga bisa lebih luwes dalam bersikap terhadap mereka. Jika mertua bersifat lemah lembut dan sensitif, maka kita pun harus pandai-pandai dalam mengahadapinya, agar tidak mudah tersinggung dengan sikap, ucapan dan tingkah laku kita.

Jika ternyata mertua bersifat keras dan temperamental, maka selayaknya kita bersabar, dan tidak mudah tersinggung atas segala ucapan dan tindakannya. Tetaplah menghadapinya dengan sopan dan lemah lembut, insyaallah lama kelamaan mertua pun akan menaruh simpati pada kita.

Jalin Komuunikasi

Tak ada satu masalah di dunia ini yang tak dapat diselesaikan. Demikian pula urusan menantu dan mertua. Awalnya, diskusikan dulu dengan pasangan kita, apa yang akan kita bicarakan dengan mertua. Tentunya pasangan kita lebih tahu bagaimana menghadapi ibunya. Setelah itu carilah waktu yang tepat, jangan sampai kita bicara di saat mertua sedang dalam kondisi bad mood.

Cari tahu semua itu lewat dialog. Harus diperhatikan, jika kita terlibat diskusi dengan mertua sebaiknya kita membatasi topik pembicaraan agar tidak terkesan terlalu menggurui atau mencampuri urusan pribadinya.

Jika ada ganjalan dalam hati, sebisa mungkin cari jalan keluarnya. Diskusikan dengan pasangan secara hati-hati jika ada hal yang menyangkut ibu atau bapaknya. Urusan orangtua bisa menjadi satu hal yang sangat sensitif.

Masalahnya, terkadang memang sulit menuntut mertua memiliki kesabaran menahan diri untuk tidak mencampuri urusan keluarga kita.

Bersikap Sopan terhadap Mertua

Mertua adalah orang yang harus kita hormati sebagaimana kita menghormati orang tua kita. Karena itu, selayaknyalah kita senantiasa bersikap sopan terhadap mereka. Usahakan untuk tidak menyinggung perasaan mereka. Bila ingin mengungkapkan sesuatu yang kontra atau berseberangan dengan pendapat dan keinginan mereka, maka ungkapkanlah dengan hati-hati dan jauhilah sikap emosional. Sebagai orang yang lebih muda, selayaknya kita lebih bisa bersabar menghadapi mertua.

Berusaha Menyenangkan Hatinya

Agar kita bisa merasa nyaman hidup berdampingan dengan mertua, maka kita pun harus berusaha membuat mereka merasa nyaman bersama kita. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk menyenangkan hati mereka, di antaranya:

– Selalu bermuka manis di hadapan mertua
Bermuka manis di hadapan sesama muslim adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila ini kita usahakan, insyaallah akan bermanfaat positif terhadap kelancaran komunikasi. Raut wajah yang cerah dan murah senyum, akan membuat mertua merasa lebih nyaman berdekatan dengan menantunya.

– Membantu pekerjaan rumah tangga
Mertua tentu senang bila memiliki menantu yang rajin membantu pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, menyapu, dan sebagainya. Menjadi menantu laki-laki juga bisa membantu membersihkan halaman, kebun, membersihkan kamar mandi, atau membelah kayu bakar.

– Memberi uang belanja
Bila mampu, usahakan memberikan uang belanja bulanan kepada mertua, lebih-lebih jika kebutuhan harian kita telah diurus atau ditanggung oleh mertua.

– Memberi oleh-oleh dan hadiah
Sekali-sekali kita sebaiknya membelikan makanan atau barang yang disukai oleh mertua kita. Terutama jika kita pulang dari bepergian jauh, bawakanlah oleh-oleh untuk mereka.
Selain itu, pada hari istimewa seperti Idul Fitri, berikanlah hadiah pada mertua berupa sarung, mukena, atau yang lainnya. Selain untuk menyenangkan hatinya, semua itu kita berikan sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan kita terhadap mertua.

Mengakrabi Mertua

Mertua adalah orang tua kita juga. Karena itu, sebisa mungkin kita harus berusaha akrab dengan mereka. Jangan sampai hubungan komunikasi menantu-mertua terasa kaku, padahal tinggal serumah. Bersama-sama menikmati teh hangat di pagi hari sambil membicarakan hal-hal yang menarik, merupakan salah satu kesempatan yang baik untuk mengakrabi mertua.

Kalau kita sudah akrab dengan mertua, maka hubungan komunikasi pun akan lebih lancar. Insyaallah, bila kita berniat mendakwahi mereka pun, akan lebih mudah mereka terima.
Itulah beberapa hal yang bisa kita lakukan tinggal serumah dengan mertua. Insyaallah, bila kita bisa membangun suasana yang nyaman, rumah mertua benar-benar bisa menjadi ‘pondok mertua indah’ yang membahagiakan.

Sambutlah Dia dengan Hamdalah (3)

“Wanita sholehah ialah, jika dipandang ia menyenangkan suaminya, jika diperintah dia taat dan jika (suaminya) keluar dia menjaga dirinya.” (HR. Abu Dawud no 1417)


3. Memberi Senyuman Terindah

Rumah tangga adalah merupakan bentuk pemerintahan terkecil di dalam komunitas masyarakat, namun begitu, peranannya pun teramat vital bagi masyarakat itu sendiri, bahkan boleh jadi, suatu negara atau bangsa dimana pun tidak akan dapat tegak berdiri bila tidak ada peranan yang baik dari lembaga keluarga tersebut. Sebab, negara merupakan suatu batas yang dihuni oleh kumpulan masyarakat. Sedangkan masyarakat tidak akan baik atau berdiri dengan aman dan harmonis bila tidak didukung oleh peranan keluarga-keluarga yang bertanggungjawab.

Begitu pun dengan lembaga keluarga tersebut, mustahil akan serasi, tanpa terbentuknya keharmonisan anggotanya sendiri, minimal ada kecocokan antara suami dan istri. Maka, menjadi agenda penting yang harus menjadi prioritas bagi seorang istri maupun seorang suami adalah menciptakan rumah tangga yang harmonis dengan jalan membina kerukunan rumah tangga, yang dibangun di atas pondasi yang kuat, yaitu pondasi Islam.

Perumpamaan hidup berkeluarga dalam suatu rumah tangga ibarat seekor burung yang sedang terbang dengan kedua sayapnya ke suatu tempat yang dituju. Kedua sayapnya menggambarkan sepasang insan suami dan istri yang tengah berpacu saling membahu dalam mengarungi bahtera kehidupan. Sebagaimana burung yang tidak bisa terbang kalau salah satu sayapnya tak berfungsi, begitu pula halnya dengan kehidupan suami-istri. Tak akan pernah ditemui keharmonisan, hidup rukun, seiring-sejalan, kalau antar suami-istri tidak saling memahami unsur tabi’at dan kepribadian masing-masing.

Banyak ahli mengatakan, keharmonisan keluarga ditentukan jika banyak memiliki unsur persamaan. Seperti, kesamaan hobby, atau profesi. Ada pula yang beranggapan bahwa unsur kesamaan seperti itu bisa ditolerir, yang lebih penting lagi adalah saling pengertian.

Islam tentu memiliki konsep tersendiri yang tentunya lebih sempurna. Contoh konkrit adalah mengikuti jejak rumah tangga Rasululloh saw. Yang jelas, patokan rumah tangga muslim ideal tidak boleh melenceng dari program pokok hidup ini, yaitu saling melengkapi dalam beribadah kepada Alloh swt. Apa pun yang dilakukan, tetap dalam rangka itu, kesatuan langkah merealisasikan cita-cita hidup, bahu-membahu dalam mengemban amanah, demi meraih nilai tertinggi, yaitu ridha Alloh swt.

Wanita sebagai ibu rumah tangga yang baik, tidak terlalu banyak menuntut hal keduniaan di luar batas kemampuan suami. Sebaliknya jika keluarganya diberi karunia kelebihan rezeki, ia pemurah, bahkan mendorong suaminya untuk menyisihkan infaq khusus untuk kegiatan fi sabilillah, bukan malah mencegahnya.

Seorang istri mujahid atau mubaligh yang shalihah akan mengerti bila suaminya memiliki banyak jadwal kegiatan. Maka, dia dengan rela menerima dan menggembirakan tamu suaminya apabila suaminya itu dikunjungi oleh teman atau mad’unya. Ia pun harus maklum kalau suaminya sebagai pegawai Alloh swt itu (mubaligh) atau mujahid sering meninggalkannya, tak jarang pula terlambat pulang, karena memenuhi permintaan umat demi mencari muka kepada penguasa tertinggi, yaitu Alloh swt. Ia tak sempat berfirkir negatif, seperti ngomel, cemberut, mengeluh cemburu, jika suaminya pulang larut malam, karena dia telah pasrah sepenuhnya kepada Alloh swt.

Keberangkatan suami dilepas dengan senyum terindah, yaitu senyuman yang penuh dengan cinta dan keikhlasan, kedatangannya pun disambut dengan wajah ceria. Demikianlah gambaran wanita shalihah.

Memandangi suami dalam setiap siatuasi dan kondisi, menemaninya dalam riang dan gembira, menghibur dalam duka dan nestapa, menyenangkannya di saat sedih dan gelisah adalah merupakan kewajiban istri sebagai pendamping suami.

Jika seorang istri dapat berlaku terhadap suaminya seperti apa yang dipaparkan di atas, sehingga suaminya bertambah cinta dan sayang kepadanya dan merasa puas terhadap pelayanan istrinya, maka wajarlah dia memperoleh balasan yang setimpal.

Suatu hari, putra seorang sahabat Rasululloh saw, Abu Thalhah Ra terserang penyakit hingga meninggal dunia di pangkuan ibunya, yaitu Ummu Sulaim. Sementara Abu Thalhah sedang berada di luar rumah. Sang istri tidak segera memberi tahu Abu Thalhah tentang musibah yang baru dialaminya tersebut, karena dia tahu betul kalau suaminya tersebut amat sayangnya terhadap putranya itu dan mungkin akan merasakan kesedihan yang amat dalam bila mendengar putranya telah meninggal.

Ketika Abu Thalhah datang, Ummu Sulaim mendekatinya, kemudian menghidangkan makan malam buatannya. Abu Thalhah pun makan dan minum sepuasnya. Setelah itu Ummu Sulaim bersolek, hingga kelihatan lebih cantik dari hari-hari sebelumnya. Abu Thalhah sangat tertarik, lalu mengajaknya tidur bersama. Setelah selesai melakukannya, Ummu Sulaim mengajukan pertanyaan kepada Abu Thalhah, “Ya Aba Thalhah, bagaimana pendapatmu bila suatu kaum meminjamkan sesuatu kepada salah satu keluarga, lalu kaum itu memintanya kembali pinjaman tersebut. Bolehkah keluarga tadi melarangnya?” Abu Thalhah menjawab, “Tentu saja tidak boleh.”

“Kalau begitu, relakanlah anakmu yang telah diminta kembali oleh yang punya, Alloh swt.” Sambung istrinya.

Mendengar kata-kata istrinya Abu Thalhah sangat marah, lalu berkata, “Engkau biarkan aku kotor (junub) seperti ini, baru setelah itu engkau beritahu tentang keadaan anakku?”

Esok harinya Abu Thalhah Ra mendatangi Rasululloh saw dan mengabarkan tentang peristiwa malam itu.

Mendengar hal itu, Rasululloh saw bersabda, “Semoga Alloh swt memberkahi malam kamu berdua.” Benarlah, Alloh swt mengabulkan do’a penutup para nabi dan rasul ini. Alloh swt mengaruniakan putra sebagai pengganti putranya yang telah meninggal dunia itu. Ternyata, bukan Cuma seorang putra, tetapi Alloh swt telah mengaruniakan sembilan putra yang kesemuanya dapat menghafal Al-Qur’an Al-Karim.

Inilah saripati dari kesabaran. Kesabaran dari kesadaran akan kewajiban seorang istri shalihah untuk senantiasa memenuhi hak-hak suaminya, untuk selalu taat dan untuk selalu dapat memberikan kebahagian dan kesenangan kepada suaminya, baik di saat gembira maupun duka.

Rasululloh saw bersabda:
“Tiap-tiap istri yang meninggal dan diridhai suaminya, maka ia akan masuk surga.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

File Gerimis Edisi 2 Th. Ke-2/2007

Sambutlah Dia dengan Hamdalah (2)

2. Memberi Kabar Gembira

Entah apa jadinya kota suci Mekkah saat ini bila tidak ada peranan seorang istri gubernur Dar’iyah yang mengajak suaminya untuk memenuhi ajakan dakwah Ahlussunnah yang dibawa oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab?

Memang, kita tidak menyangsikan akan adanya rencana dan kekuasaan Alloh swt, mungkin dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab akan berhasil melalui jalan lainnya, akan tetapi di sini, yang sedang kita lihat dan renungkan sekarang ini adalah tentang kemuliaan seorang istri sholehah yang berusaha untuk mengajak suaminya agar mendukung dakwah yang mulia itu.

Kisah ini terjadi sekitar dua ratus tahun lalu, ketika kota Hijaz masih dipenuhi oleh kebodohan yang pada akhirnya menciptakan berbagai lahan bid’ah dan khurafat. Di kota itu ada satu kuburan yang dianggap kuburan Zaid bin Khattab.

Masyarakat yang bodoh itu setiap harinya beramai-ramai mendatangi kuburan tersebut, menyembelih hewan di sisinya, dan mengambil keberkahan darinya. Di kuburan itu juga terdapat pohon kurma jantan yang selalu dikunjungi oleh wanita-wanita yang telat nikah, sambil mengatakan, “Wahai jantannya para jantan, kami menginginkan suami sebelum lewat satu tahun.”

Dalam kondisi yang mengkhawatirkan seperti itu, Alloh swt berkehendak merubahnya, Dia menakdirkan seorang imam (Muhammad bin Abdul Wahab) yang datang dari kota Ayinah untuk memerangi berbagai bentuk kesyirikan tersebut dan mengembalikan manusia kepada kitabulloh dan sunnah nabi yang di mulia di negeri yang mulia itu.

Namun, ada saja aral rintangan dakwah, orang yang tidak menyukai dakwah Imam meminta kepada gubernur di kota itu untuk membunuh Al-Imam, pada akhirnya gubernur itu tidak membunuhnya, akan tetapi dia mengusir beliau dari kota kelahirannya tersebut.

Tanpa berpikir panjang beliau pun pergi meninggalkan kota tersebut. Dengan berjalan kaki beliau menuju Dar’iyah dengan cahaya kebenaran yang diserukannya.

Di tempat baru tersebut beliau menemui seorang tokoh yang mulia, namanya Muhammad bin Suwailim Al-‘Uraini. Ketika Ibnu Suwailim melihat Imam Muhammad bin Abdul Wahab, ia gemetaran karena rasa takut. Beliau berkata kepadanya untuk menenangkannya, “Bergembiralah dengan kebaikan, yang saya serukan kepada manusia ini adalah agama Alloh, dan Alloh pasti akan memenangkannya.!”

Gubernur Dar’iyah saat itu adalah Muhammad bin Sa’ud. Kedua saudara-saudara Gubernur yang masih bersih imannya, yaitu Tsunaiyan dan Musyawi mengetahui dengan kedatangan Al-Imam, mereka berdua berniat menolong dakwah yng diserukan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab.

Berangkatlah mereka berdua menuju istri saudara mereka, Gubernur Muhammad bin Sa’ud. Nama istri gubernur adalah Mudli bintih Wathyan. Kedua saudara itu berkata kepada istri gubernur yang sholehah ini, “Kabarkan kepada Muhammad keberadaan laki-laki ini (Imam Muhammad bin Abdul Wahhab), berilah dia motivasi agar menerima dakwahnya dan tumbuhkan semangatnya untuk mendukungnya serta memperkokoh dakwahnya.”

Ternyata, istri yang cerdas dan yang telah terpenuhi hatinya dengan cahaya iman ini mampu mengatur segala sesuatunya dengan baik. Tatkala suaminya Muhammad bin Sa’ud datang, ia segera menghampirinya seraya berkata, “Bergembiralah dengan datangnya keuntungan yang sangat besar.”

Alangkah indahnya perkataan itu. Demi Alloh, hati kaum laki-laki akan berbunga dan perasaannya akan terbang menerawang, hanya sekedar mendengar kata bergembiralah dari istrinya. Keuntungan macam apakah yang ia maksudkan? Apakah keuntungan hasil perdagangan? Tentu tidak, bahkan keuntungan perniagaan yang lebih besar dari itu.

Ia melanjutkan perkataannya, “Bergembiralah dengan datangnya keuntungan besar yang digiring oleh Alloh kepadamu, seorang da’i yang menyeru manusia kepada Alloh, kitab-Nya, dan sunnah rasul-Nya saw. Alangkah indahnya keuntungan itu, segeralah bergegas menerimanya dan mendukungnya. Jangan sekali-kali bersikap masa bodoh dalam hal tersebut.”

Alangkah besarnya perniagaan yang ditawarkan istrinya itu kepada suaminya tersebut. Seorang istri yang memiliki ketajaman akal, kefasihan lidah dan keberanian di dalam mengungkapkan kebenaran, sekalipun yang dihadapinya adalah suaminya, yang harus ia hormati dan taati. Namun, dia tidak mempersoalkan yang demikian, karena persoalan agama lebih utama, dan dia tidak mabuk kekuasaan, hingga melupakan para aktivis dakwah. Demi Alloh, ia telah memberi kabar gembira dengan datangnya keuntungan besar kepada suaminya yang suatu saat kelak akan dipetik di sisi-Nya.

Kemudian sang gubernur Muhammad bin Sa’ud pun memenuhi ajakan yang sangat mempesona itu secara spontan. Sang gubernur ingin meminta pendapat istrinya, “Apakah sebaiknya saya mengundangnya, atau saya pergi menemuinya?”

Ajakan sang gubernu pada istrinya untuk bermusyawarah itu sebagai bukti, bahwa ia memperhatikan pendapat sang istri. Ini merupakan bangunan rumah tangga yang kokoh. Bangunan yang didirikan atas landasan kecintaan dan saling memahami.

Saling memahami antara suami dan istri di bawah naungan syari’at Alloh swt. Sang suami meminta pendapat sang istri, dan sang istri meminta pendapat sang suami demi kemaslahatan mereka bersama. Inilah kebahagiaan hidup rumah tangga yang sering diidam-idamkan.

Alangkah indahnya hidup berumah tangga seperti itu, istri gubernur ini benar-benar mengumandangkan kebenaran di dalam menyampaikan pendapatnya kepada suaminya sebagai wujud baktinya untuk agama ini dan juga sebagai rasa kasih sayang dia kepada suami. Karena istri yang shalihah akan selalu memotivasi suaminya agar berada di jalur kebaikan, mencintai para ulama, dan selalu menghadiri majelis-majelis kemuliaan yang berisikan warisan-warisan Rasululloh saw di dalamnya. Bukan sebaliknya, membiarkan suami bergelimang di dalam dosa dan kemaksiatan yang nantinya hanya akan berujung di neraka. Na’udzubillah.

Demikian itulah hasil dari motivasi yang diberikan oleh binti Wadhyan kepada suaminya. Dan sang gubernur pun menyambutnya.

Berkat karunia Alloh swt dakwah Islam tersebar luas hingga sampai ke negera Syam melalui seorang Imam kaum muslimin, Muhammad bin Abdul Wahhab. Namun di balik itu semua, cahaya kebenaran itu muncul kembali melalui seorang istri yang selalu menghendaki kebaikan bagi suaminya dengan memberikan kabar gembira akan adanya keuntungan yang besar di sisi Alloh swt.

Berilah kabar gembira kepada suamimu dengan jannah Alloh swt.

File Gerimis Edisi 1 Th. Ke-2/2007

Sambutlah Dia Dengan Hamdalah (1)

“Wanita sholehah ialah, jika dipandang ia menyenangkan suaminya, jika diperintah dia taat dan jika (suaminya) keluar dia menjaga dirinya.” (HR. Abu Dawud no 1417)


Dalam bahtera rumah tangga, sosok suami adalah nahkoda dari bahtera yang berlabuh. Suamilah yang bertanggung jawab untuk menyelamatkan seluruh awak kapal, yaitu istri dan anak-anaknya dari terjangan ombak dan hadangan karang selama mengarungi samudera kehidupan, sampai bahtera itu mencapai pelabuhan abadi dalam keridhaan Alloh swt.

Dalam kehidupan nyata, seorang suami adalah pemimpin yang memiliki tugas mengatur dan mempertahankan keutuhan rumah tangga.

Dalam pengaturannya, seorang suami adalah pemimpin yang harus mampu mengarahkan seluruh anggota keluarganya agar tetap dalam bingkai rumah tangga Islami, dalam keutuhan nilai-nilai sam’an wa tho’atan (mendengar dan ta’at) kepada setiap perintah dan larangan Alloh swt, agar tidak terjerumus ke dalam murka-Nya. Dalam hal ini dapat kita gambarkan, bahwa seorang suami adalah tameng bagi anggota keluarganya yang sedang menuju ke jurang neraka. Bila ia mampu menahan mereka agar tidak jatuh ke dalamnya, maka ia dan seluruh anggota keluarganya akan selamat. Namun, jika ia tidak dapat menahannya, maka ia akan tercebur bersama seluruh anggota keluarganya ke dalamnya. Sedangkan tanggungjawab tersebut, seluruhnya ada pada dirinya, yang menyebabkan keluarganya masuk ke dalam jahannam. Na’udzubillah

Dalam mempertahankannya, seorang suami adalah laki-laki yang harus memperlakukan istrinya dengan baik, tidak suka memukul, memberikan nafkah, pakaian, dan memberikan seluruh kebutuhan istri sesuai dengan haknya. Rasululloh saw pernah ditanya tentang hak istri atas suami, maka beliau menjawab:

“Hendaklah engkau memberinya makan, jika engkau makan, memberinya pakaian jika engkau memakainya, dan janganlah pula engkau memukul wajahnya dan menjelek-jelekkannya dan jangan pula menjauhinya, kecuali di dalam rumah (tempat tidur).” (HR. Abu Dawud dengan sanad hasan)

Seorang suami yang taat kepada Robb-nya pasti akan senantiasa berusaha menjaga hak-hak istrinya dengan sempurna. Dalam kesabaran ia mendidik istrinya, dalam kasih sayang dia menjaga-nya dari bahaya, dalam tanggungjawab dia mencukupi kebutuhannya, dan dalam kesunyian ia selalu membisikkan kata-kata kepadanya, “Semoga Alloh menjadikanmu pendampingku di surga.”

Dari sini dapat kita katakana, bahwa sangatlah wajar bila seorang istri menunaikan hak-hak suaminya, dengan sebab-sebab yang telah disebutkan di atas. Namun, seandainya pun sang suami tidak dapat memenuhi hak istrinya secara sempurna, tidaklah berarti diwajarkan bagi seorang istri untuk mencampakkan hak-hak suaminya, karena di atas itu semua, ada kewajiban yang Alloh swt dan Rasul-Nya saw perintahkan kepada seorang istri untuk senantiasa taat kepada suaminya. Rasululloh saw bersabda:

“Sesungguhnya seorang istri belum (dikatakan) menunaikan kewajibannya terhadap Alloh, sehingga menunaikan kewajiban terhadap suaminya seluruh-nya.” (HR. Thabrani)

Oleh karena itu, maka hendaklah bagi seorang istri yang sholehah untuk dapat memfungsikan dirinya sebagai wanita yang selalu mengharap keridhaan suaminya.

“Tiap-tiap istri yang meninggal dan diridhai suaminya, maka ia akan masuk surga.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

1. Ridho Terhadap Pemberian Suami
Wajarlah bila sebuah rumah tangga mengalami “guncangan”. Karena, tidaklah mungkin sebuah bahtera yang berlayar melewati samudera yang luas dapat berjalan mulus dengan mudah, tanpa menghadapi gelombang ombak yang menghadang.

Guncangan, biasanya terjadi karena permasalahan ekonomi. Cobaan inilah yang sering dialami oleh sebuah keluarga. Maka, tidak sedikit bahtera-bahtera yang kandas di tengah jalan oleh hadangan gelombang ujian perekonomian ini.

Biasanya, kejadiannya bermula di saat sang suami tidak dapat memberikan nafkah yang cukup bagi keluarganya, atau bahkan sudah cukup, namun, sang istri selalu merasa kurang dengan nafkah yang diberikan, kemudian buntutnya, menuntut yang lebih dari suami, cek-cok, lalu…, bubar. Na’udzubillah

Melihat kejadian yang mengerikan di atas yang bukan kejadian satu-dua, tapi sudah banyak. Maka, dituntut kehati-hatian seorang istri di dalamnya. Karena, mengingat sabda Rasul saw:

“Telah diperlihatkan kepadaku neraka, di mana penghuninya yang terbanyak adalah wanita-wanita yang kufur.” Ditanyakan kepada beliau, “Ya Rasululloh! Apakah mereka kufur kepada Alloh?” Beliau menjawab, “Mereka mengingkari perbuatan baik suaminya. Sekiranya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka sepanjang tahun, kemudian ia melihat sesuatu (keburukan pada dirimu) ia berkata, “aku tidak pernah melihat kebaikan darimu”.” (HR. Bukhari)

Seorang istri yang cerdas, tentu tidak menginginkan menjadi bagian dari golongan wanita-wanita yang dikabarkan oleh Rasululloh saw dalam hadits tadi. Seorang istri yang sholehah akan selalu mencari keridhaan suaminya, dalam suka maupun duka.

Apabila suaminya pergi, dia tidak ditinggalkan, kecuali sudah memenuhi perbekalan suaminya, kemudian dia senantiasa berhusnudzon (berprasangka baik) terhadap suaminya, bahwa suaminya itu sedang bekerja mencari nafkah untuk dirinya, dia pun senantiasa mendo’akan suaminya pada saat kepergiannya. Lalu, ketika sang suami telah mendaratkan kakinya di rumah, dia menyambutnya dengan gembira, dengan senyuman yang hangat seraya berucap, “Alhamdulillah…,” Bila ia dapati suaminya mendapatkan hasil yang cukup, ia mensyukurinya dan bila tidak, maka ia pun tetap ridho terhadap suaminya. Walaupun menuntut, ia tidak memaksa, malah memberikan motivasi untuk tetap bersemangat. Karena ia menyadari, bahwa segala sesuatu yang didapatkan di dunia ini pada hakekatnya adalah Alloh swt yang memberikannya, bila berkehendak Dia memberi, jika tidak, maka tidak ada kuasa bagi seseorang untuk menolaknya.

Bersambung…

Dia Merindukan Belaian Kasihmu (5)

“Barangsiapa yang tidak mensyukuri yang sedikit tidak akan mensyukuri yang banyak. Barangsiapa yang tidak berterima kasih kepada manusia maka ia tidak akan berterima kasih kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Mengungkapkan rasa terima kasih atas nikmat Allah adalah bentuk kesyukuran dan meninggalkannya adalah kekufuran.” (HR. Ahmad)

“Pandai berterima kasih adalah pertanda budi pekerti.
Orang yang pertama kali berhak mendapatkannya dari suami adalah sang isteri.”


Gambaran sebuah setrikaan/gosokan baju yang hilir mudik dan bolak-balik kesana kemari tiada henti.
Keumuman kesholehahan seorang isteri, jika kita perhatikan secara seksama mulai dari ba’da shubuh mulai melangkahkan kakinya menuju salah satu tempat kerjanya (dapur), memasak air untuk ngopi suami dan mandi putera atau puterinya yang akan berangkat sekolah, menanak nasi untuk sarapan suami dan anak-anaknya.

Tidak sampai di situ…

Setelah aktivitas memasak, bai yang memiliki buah hati yang belum bisa mandiri, sang ibu harus memandikannya dan memakaikan baju untuk berangkat sekolah, pun suami yang siap untuk berangkat kerja tidak luput dari perhatiannya. Setelah mereka (suami dan anak-anaknya) pergi berangkat ke tempat tujuan masing-masing, tidak serta merta tugas seorang isteri berhenti sampai di situ.

Belum lagi yang masih mempunyai bayi mungil dengan kerewelannya membuat perhatian ibu menjadi terbagi. Menetekan dulu agar sang bayi tidak menangis, supaya sang ibu bisa melanjutkan tugas selanjutnya, mencuci, belanja makanan untuk hari tersebut dan setelahnya membersihkan tempat tinggalnya.

Mendidik anak-anak, memberikan service (pelayanan) terbaik dan menjaga harta suaminya pun merupakan bagian tugas sang isteri sholehah. Huh…, terbayang begitu sibuk dan capeknya ya… Kaki dan tangannya tidak terhenti untuk melangkah dan terus untuk berkarya.

Wahai para suami, apakah engkau menyaksikan akan besarnya jasa isteri-isterimu? Yang darinya akan menggerakan lisanmu untuk mengucapkan, “Dinda, ‘jazakillah’ terima kasih atas semuanya, semoga Allah swt meridhaimu.”

Ya, “terima kasih”, dua potong kata yang sulit untuk dikeluarkan lisan. Hanya dua potong kata, “terima kasih”, tetapi jarang sekali kita dengar. Adakah kata-kata tersebuh keluar dari seorang suami yang ditujukan untuk isteri yang disayanginya? Sangat disayangkan terhadap sebagian para suami yang lemah rasa empati (kepeduliaan) terhadap sang isteri. Sangat berbeda ketika dulu bagaimana cara ia untuk mendapatkan si ‘dia’.

Ketika menghadap calon mertua, kata-kata indah pun dirangkai untuk sekedar menarik simpati. Akan tetapi setelah terjalin rajutan tali pernikahan dan setelah beberapa waktu terlewati, kata-kata mesra dengan penuh kelembutan itu hilang, sirna entah kemana, walaupun hanya sekedar mengucapkan kata, “terima kasih”. Na’udzubillah.

Prototipe seorang isteri sholehah adalah bukan yang memelas dan merengek untuk minta di’terima kasihi’ oleh suami. Walaupun sang isteri tak pernah minta berbalas terima kasih dari suami, pada kenyataannya dan faktanya, terlalu banyak alasan bagi suami untuk tidak menyatakan terima kasih kepada isterinya.

Berterima kasih mungkin menurut para suami adalah hal yang sepele. Namun, jika diucapkan sebagai rasa syukurnya dan penghargaan, apalagi kepada isteri kita, akan memberikan dampak yang luar biasa pada perkembangan kejiwaan yang akan melahirkan budi pekerti yang luar biasa. Jika isteri mendapatkan perlakuan yang baik dari suaminya, aia akan bahagia dan bertambah rajin. Sang isteri shalehah akan semakin terdorong untuk melayani suami dan mendidik dengan baik anak-anaknya.

Jika pujian senantiasa mengalir kepada isteri kita, maka akan menambah kebahagiaan keluarga, penuh dengan kedamaian dan ketentraman hidup bersama suaminya. Pepatah mengatakan, “Siapa yang menanam sesuatu yang baik, maka buah yang akan dituainya pun adalah kebaikan pula”. Manfaatnya akan kembali pada suami dengan membawa cinta dan kegembiraan.

Lagi-lagi karena kearogansian dan keangkuhan atas kepemimpinannyalah, suami jarang untuk berterima kasih kepada isteri dalam kehidupan keluarganya. Bagaimana mungkin untuk bisa mengungkapkan kata-kata yang penuh dengan kelembutan seperti ungkapan rasa saya, ‘I love U’, bahkan hanya sekedar mengucapkan terima kasih pun tidak bisa.

Begitupun sebaliknya untuk para isteri harus pandai bersyukur kepada Allah swt yang telah mengaruniakan kepada dirinya seorang suami sebagai pendamping dalam kehidupannya. Cucuran keringat dan banting tulang serta kerja keras suami ketika dalam mencari nafkah untuk diri, anak-anak dan keluarganya. Ketika suami baru datang dari medan dakwah atau dari tempat kerjanya dengan wajah penuh kecapaian dan kelelahan, sambutlah dengan senyuman tulus dan manis seraya mendo’akannya sebagai ungkapan rasa cinta, sayang dan terima kasih atas jasa serta kebaikan suami selama ini kepada dirinya.

Di dalam Islam kekuatan kata-kata begitu luar biasa pengaruh dan dan dampaknya. Karena ucapan terima kasih adalah perkataan baik yang termasuk dalam thibbul kalam. Orang yang melakukannya adalah termasuk diantara kelompok yang disediakan ruangan istimewa di surga kelak. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya di dalam surga ada sejumlah ruangan di mana orang yang berada di dalamnya bisa melihat orang yang berada di luarnya. Dan orang yang berada di luarnya bisa melihat orang yang ada di dalamnya. Ruangan-ruangan itu diperuntukkan bagi orang-orang yang baik perkataannya, memberi makan, dan melakukan shalat malam ketika manusia tertidur.” (Al-Jami’us Shagir: 2314)

Sudahkah kita berterima kasih kepada isteri dan orang-orang yang berjasa selama ini kepada kita?

File Gerimis Edisi 11 Th. Ke-1/2006

Dia Merindukan Belaian Kasihmu (4)

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An Nisa:19)

4. Memukul Istri ?

Sifat Ar-Rujulah atau kejantanan seorang suami bukan dibuktikan dengan beraction keras hati, melampiaskan kekuatan otot tubuh dengan memukuli Istri. Memang gagah, seorang suami bertampang sangar seperti gatot kaca kumis mbaplang tebel kaya empal daging sapi, otot kawat bertulang besi, minumnya kopi setiap pagi. Tapi kan bukan jaminan dia suami penyayang dan romantis.

Karena yang jadi dambaan setiap istri bukan hanya suami bertubuh atletis bertampang macho, tapi yang terpenting sholih, dewasa, penyayang, nggak ketinggalan romantis sampe kekek-nenek, dan yang terahir bermanhaj Ahlussunnah wal Jama’aah.

Namun apa yang akan kita bincangkan pada kali ini adalah, ada saja karakter suami cenderung berkeras hati, bertabiat kasar, zalim dan tidak banyak memahami ajaran Dien (agama) Islam. Hingga acap kali tersulut emosinya ia memukuli istri seperti banteng liar ketaton. Ia menyiksa istrinya dengan sangat pedih, padahal hanya suatu sebab yang remeh. Ironinya kadang suami berhati bengis dan kasar itu berdalih dengan izin Al-Quran untuk memukul. Padahal sejatinya mereka keliru dan salah paham. Suami yang jahil dari aturan Islam dalam memandang keperkasaan berarti mendzalimi, menundukkan, menguasai dan bertindak otoriter. Kepemimpinan (Qawwamah) bagi mereka adalah belenggu yang diletakan di leher wanita untuk menhinakan dan menguasainya. Anehnya suami tipe ini dulunya, di awal sebelum pernikahan, yakni di saat masih dalam tahap perintisan berpura-pura berjiwa santun penug kelembutan dan kasih sayang. Akan tetapi setelah menikah, ia berbalik 180 derajat. Ketawadhu’an berganti jadi kedzaliman. Rendah hati berubah penguasaan dan keangkuhan. Bagaimana tidak? Ia biasa memukuli istri dengan tongkat dan tangannya karena sebab yang remeh. Kadang pula tanpa sebab yang jelas. Sering pula ia tambah dengan cacian dan fitnah. Allohul Musta’aan. Semoga kita dan suami anda tidak termasuk kategori suami yang seperti ini. Lantas bagaimanakah Islam memandang hal seperti ini?

Saudaraku…, Perempuan bukanlah barang yang tak berguna. Bukan pula bahan hinaan. Bukan pula binatang ternak yang diperjual- belikan, sehingga pemiliknya bisa seenaknya memperlakukannya semaunya. Wanita, dalam hal ini, mempunyai hak yang sempurna untuk mengadukan keadaannya pada wali atau orang tuanya, atau pada hakim (pengadilan). Perempuan juga manusia yang dimuliakan, dan yang termasuk yang dimaksud firman Alloh swt:

“Dan sungguh telah kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk yang telah kami ciptakan (QS. Al-Isra: 70)

Mempergauli istri dengan baik bukan sebatas Ikhtiari atau kesadaran semata, di mana suami berhak untuk memilih. Jika ia berkenan, ia bergaul dengan santun. Jika tidak, ia bersikap buruk. Bukan begitu. Pergaulan yang baik terhadap istri justru merupakan kewajiban. Mengasihi wanita, tidak seperti mengasihi hewan. Ini merupakan haknya sekaligus kewajiban suaminya. Perempuan dimuliakan dengan penciptaan yang sempurna, rupa yang cantikdan bentuk tubuh yang sempurna. Ia dimuliakan juga dengan bayan (kemampuan berbicara), akal dan kemampuan mengemban amanah. Keistimewaan-keistimewaan ini diberikan kepada pria dan wanita. Orang yang memperlakukan istrinya tak ubahnya binatang atau barang dagangan, berarti telah mengingkari nikmat Alloh swt dan membawa dirinya pada siksa Alloh yang Maha Kuasa. Mungkinkah mereka tidak mempedulikan fiman-Nya:

“Sesungguhnya Rabbmu benar-benar mengawasi.” (QS. Al-Fajr: 14)

Dan Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya aku melarang terhadap kalian hak dua golongan yang lemah: anak yatim dan wanita.” (Diriwayatkan Ahmad, 2/439, dan yang lainya. Ia menilai shahih berdasarkan syarat Muslim).

Juga sabdanya saw:
“Wanita adalah saudara kandung laki-laki.” (Ahamad 6/256 Dishahihkan Ahmad Syakir dalam tahqiq At Tirmzi).

Sabdanya saw:
“Janganlah salah satu dari kalian mencambuk istrinya seperti mencambuk hamba sahaya, setelah itu ia tidur bersamanya.” (Al-Bukhari 5204 Muslim 2855)

Lihatlah begitu kerasnya Rasululloh saw menilai tercelanya memukuli wanita. Bagaimana mungkin seseorang pantas menjadikan istrinya, yang tak ubahnya nafas baginya, terhina tanpa harga diri. Ia memukulinya dengan cambuk atau tangannya, sedang ia tahu bahwa dirinya butuh bergaul dan berhubungan intim dengannya.

Namun demikian bukan berarti Islam melarang suami memukul istri dengan tujuan mendidik bukan semata-mata menyakiti. Dan kalau pun begitu, ada persyaratan tertentu yang membolehkan suami untuk memukul istri ketika berbuat kedurhakaan. Mari kita simak firman-Nya:

“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya” (QS. An-Nisa: 34)

Juga sabda Rasul saw:
“Kalian mempunyai hak atas mereka (istri-istri kalian), yaitu mereka tidak memasukan seorang pun yang tidak kalian sukai ke ranjang kalian. Jika mereka melakukan demikian, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitinya.” (Muslim no.1218).

Bersambung…

File Gerimis Edisi 10 Th. Ke-1/2006