Tak Ada Alasan Lagi Membenci Islam

Tak Ada Alasan Lagi Membenci Islam

“Namaku Abdul Hakim. Aku dilahirkan 24 tahun yang lalu di tengah teriknya sinar matahari di Spanyol. Ibuku asli Perancis, dan ayah asal Spanyol,” kata Abdul memulai kisahnya.

Abdul tinggal di Spanyol hanya dua tahun. Lalu pindah ke Perancis ikut kedua orang tuanya. Lepas sekolah menengah atas, di usia 18 tahun, Abdul pindah ke Inggris untuk melanjutkan studi di Jurusan Teknik Kimia, Universitas Sheffield.

“Pertama sekali aku ingin tekankan bahwa hingga usiaku 18 tahun, aku tidak suka sama sekali dengan Islam. Kala itu aku baru memasuki tahun pertama kuliah di Inggris,” tukas dia mengenang. Di usia 17 tahun, menurut pengakuannya, dia bahkan pernah bergabung dengan salah satu kelompok ekstrim yang sukanya “memerangi” pemeluk Islam. Dia menyebut dua alasan masuk grup tersebut, kisahnya:

“Pertama, karena keluarga dan juga teman-temanku dulunya semua pendukung nasionalis dan rasisme. Jadi aku ingin “membersihkan” lingkungan dari orang-orang yang tak kusukai. Kedua, pengalaman pribadi di mana aku pernah diserang secara pisik dua kali oleh warga asing asal Aljazair,” kata Abdul tentang masa lalunya.

“Sekarang Anda bisa bayangkan bagaimana pola pikir saya bisa berubah setelah kuliah di Inggris. Anda pasti bertanya-tanya apa dan bagaimana aku bisa menemukan Islam di Inggris,´ kata dia lagi.

Kala studi di Inggris Abdul mengaku menjalin hubungan persahabatan dengan sejumlah siswa asal Asia. Kebanyakan anak-anak dari Malaysia dan Indonesia. Saat itu dia tidak tahu sama sekali teman-teman saya itu semuanya beragama Islam. Sebab sebelumnya dia selalu mengidentikkan Islam dengan Arab.

“Teman-teman muslim yang aku kenal itu semuanya mempraktekkan Islam dalam kehidupan harian mereka. Nah secara perlahan aku menemukan sesuatu yang lain dari Islam. Ini muncul murni dari hatiku, tanpa ada tekanan atau paksaan dari mereka untuk masuk Islam. Melihat perangai dan perilaku mereka pikiranku tentang Islam mulai berubah. Islam ternyata berbeda sama sekali dari yang pernah kudengar dan kubayangkan di masa lampau. Islam ternyata sangat toleran. Islam berarti kejujuran, keterbukaan, kasih sayang dan rasa damai. Yang bikin aku makin terkesan, ternyata orang-orang Islam punya kepedulian terhadap muslim lainnya,” tukas dia panjang lebar.

Apa yang telah diamati Abdul benar-benar membuat dia syok. Saban hari dia semakin termotivasi untuk “mengintip” kelakuan mahasiswa muslim di kampusnya. “Mereka bahkan tidak tahu aku sedang menjalankan misi seperti “spionase terhadap mereka.” Aku benar-benar ingin tahu tentang Islam. Makin hari makin membuncah saja. Kebencian kini justru berganti dengan keingintahuan. Sebab perangai dan tingkah laku mereka berbanding terbalik dengan prasangka dia akan Islam sebelumnya.

Perilaku ternyata lebih hebat daripada sejumlah kata-kata.
“Aku belajar dari mereka tentang perilaku yang benar sebagai seorang muslim. Hal ini jauh dari apa yang pernah kulihat selama di Perancis,” lanjut dia. Kurang dari setahun, Abdul telah belajar banyak hal. Alhasil, dia berani mengambil kesimpulan bahwa Islam itu ternyata amat mengagumkan. “Islam luar biasa!” aku Abdul.
“Pada tahap ini, tanpa sepengetahuan seorangpun, aku mulai mempelajari Islam secara serius. Aku segera mencari mushaf Al-Quran sebagai tahap awal mempelajari Islam.

Aku mencarinya ke masjid. Namun, untuk mendekat ke mesjid kala itu aku tak punya keberanian sama sekali. Aku takut ketahuan teman-temanku yang muslim. Entahlah aku sedikit tertekan kala itu. Tak tahu apa yang musti kulakukan,” aku Abdul.

Begitulah, yang namanya hidayah Allah ada saja jalan yang tak diduga-duga oleh hamba-Nya. Seperti kasus Abdul ini, “tanda-tanda” dari Allah mulai terlihat. “Satu hari aku sedang jalan menyusuri kota dan berharap bisa memperoleh Al-Quran. Entah bagaimana aku melewati satu kawasan dimana disana sedang ada pameran Islam,” kisahnya.

Abdul pun tak menyia-nyiakan peluang yang sudah di depan mata. Dia yakin disitu tak ada seorang pun yang kenal dengannya. Awalnya dia agak ragu-ragu namun karena rasa ingin tahu yang sudah membuncah dia pun memberanikan diri meminta sepotong mushaf Al-Quran beserta terjemahannya.

Selepas mendapatkan Al-Quran yang sekian lama dicari-carinya diapun bersegera pulang ke rumah dan langsung mempelajarinya. “Sedikit demi sedikit aku bisa tahu apa itu Islam. Aku ingin Islam hadir karena usahaku sendiri dan bukan karena paksaan atau tekanan orang lain. Aku juga tidak suka adu argumentasi atau berdebat. Aku hanya ingin menemukan jawaban apa itu Islam. Aku benar-benar ingin tahu,” tegas dia.

“Beberapa hari berselang, persis selepas aku memperoleh Al-Quran, bulan suci Ramadhan tiba. Muncul ide yang kuanggap “gila” kala itu. Aku mau coba berpuasa, kendati belum jadi muslim! Tak hanya itu selama bulan Ramadhan kuhabiskan waktu setiap hari dengan mempelajari Al-Quran,” tutur Abdul.

“Allah akhirnya membuka pintu hatiku. Satu ketika di tengah malam, persis di pertengahan Ramadhan, aku merasakan betapa indahnya Islam itu. Pengajarannya begitu mengagumkan dan penuh makna. Simpel tapi mendasar, dan yang terpenting lagi rasional, mudah dipahami. Ini yang begitu membuatku terkesima, aku sama sekali tidak merasa takut untuk menjadi seorang muslim.

Mungkin karena hal ini benar-benar datang dari hati nuraniku sendiri, bukan karena paksaan,” tegas Abdul lagi
Begitulah, akhirnya pada 30 Maret 1997, Abdul mengikrarkan syahadahnya. Prosesi singkat itu berlangsung di kamarnya. Sendirian tanpa ada yang menjadi saksi. “Kala itu, aku ingin shalat tapi belum tahu bagaimana caranya. Gerakan-gerakannya aku tahu, tapi apa yang harus dibaca itu yang aku masih belum tahu. Namun shalat tetap kulakukan sebisa mungkin lima kali sehari. Tak berapa lama berselang Abdul pun melakukan prosesi syahadah secara formal di mesjid, di depan para saksi. Dan, saat ini aku dengan bangga sudah dapat menunjuk diri sebagai seorang muslim. Allahu Akbar!, pekiknya gembira.

”Aku berharap banyak orang bisa menjadikan kisahku ini sebagai bahan pelajaran. Baik itu untuk yang muslim maupun bukan. Oya jika ada yang mau tanya-tanya atau silaturrahmi silahkan kirim lewat email saja. Insya Allah aku akan balas,” harap dia..

Abdul mengaku menaruh rasa kagum akan Inggris yang modern, dinamis, nyaman, dan semuanya serba teratur dan terorganisir dengan rapi. “Aku tinggal di kota Sheffield untuk studi Teknik Kimia selama 4 tahun. Selepas studi aku berencana untuk mencari pengalaman kerja disini,” kata dia.

Menariknya, di tahun terakhir, Abdul bertemu dengan seorang wanita asal Brunei yang juga sedang studi di sana. Di kemudian hari perempuan Melayu itu pun menjadi pendamping hidupnya. “Muslimah asal Brunei itu kunikahi persis disaat aku menyelesaikan studiku. Tepatnya, tanggal 20 Juni 1997. Setahun kemudian rumah kami makin semarak dengan kehadiran buah hati kami seorang anak perempuan mungil dan lucu, imbuhnya gembira.
Setelah itu mereka memutuskan pindah ke Brunei. Mereka telah berniat untuk tinggal menetap di negeri yang juga salah satu negeri muslim kaya di dunia. “Kami ingin agar putri semata wayang kami bisa besar dan tumbuh di dalam lingkungan Islami,” kilah Abdul memberi alasan kepindahannya. Dan, Maret 2000 kebahagiaan makin lengkap dengan kelahiran putri kedua mereka.

“Saat ini, baik aku dan istriku, belum ada pekerjaan yang tetap lagi. Namun aku sangat yakin dengan khazanah Allah. Jika Dia menghendaki sesuatu terjadi, maka dengan mudah hal itu segera terjadi. Sebaliknya jika Allah tidak menginginkan sesuatu terjadi, maka juga tidak akan terjadi. Aku akan terus berusaha sembari berdoa. Semua kuserahkan kepada-Nya untuk memutuskan..Hanya kepada Allah kita meletakkan segala harapan dan mohon pertolongan. Aku meyakini bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah,” pungkas Abdul mantap dan penuh keyakinan.

Adolf Roberto: Kembali pada Islam, Setelah Mengetahui Orang yang Ia Siksa Adalah Ayahnya

Suatu petang, tahun 1525, di salah satu penjara Spanyol tempat para tahanan muslim mendekam terasa hening mencengkam. Jeneral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.

Setiap penghuni penjara membongkokkan badannya rendah-rendah ketika ‘algojo penjara’ itu melintasi di hadapan mereka. Kerana kalau tidak, sepatu ‘boot keras’ milik tuan Roberto yang fanatik Kristian itu akan mendarat di wajah mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseoran mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci.

“Hai…hentikan suara jelekmu! Hentikan…!” Teriak Roberto sekeras-kerasnya sambil membelalakkan mata. Namun apa yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu’nya. Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang.

Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah tua sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyucuh wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala. Sungguh ajaib… Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Dari bibir yang pucat kering milik sang tahanan itu tidak rintihan apa-apa, justru dengan jelas terdengar teriakan, “Rabbi, wa ana ‘abduka…” Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, “Bersabarlah wahai ustadz… InsyaAllah tempatmu di Syurga.”

Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan, ‘algojo penjara’ itu bertambah memuncak marahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-kerasnya sehingga terjerembab di lantai.
“Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa hinamu itu? Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Sepanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan bapa kami, Tuhan Jesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan ‘suara-suara’ yang seharusnya tidak didengar lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mahu minta maaf dan masuk agama kami.”
Mendengar “ancaman” itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan yang tajam dan dingin. Ia lalu berucap, “Sungguh… aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, Allah. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemui-Nya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemahuanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh…”

Sesaat saja kata-kata meluncur, sepatu laras Roberto sudah mendarat di wajahnya sebelum sempat mengucapkan kalimat selanjutnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah berlumuran darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah ‘buku kecil’. Adolf Roberto berusaha memungutnya. Namun tangan sang Ustadz terlebih dahulu mengambil dan menggenggam-nya erat-erat.
“Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!” bentak Roberto, “haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!” Ucap sang ustadz dengan tatapan penghinaan pada Roberto. Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars seberat dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustadz yang telah lemah.

Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan ‘algojo penjara’ itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur.

Setelah tangan tua itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya berang. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung.
“Ah…seperti aku pernah mengenal buku ini. Tetapi…? Ya, aku pernah mengenal buku ini.”

Suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan “aneh” dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Sepanyol.

Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustadz yang sedang melepaskan nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat-terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak.

Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu petang di masa kanak-kanaknya terjadi kekecohan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Petang itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa gugur di bumi Andalusia.

Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin petang yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para pendeta.

Seorang anak laki-laki yang comel dan tampan, berumur sekitar tujuh tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Anak laki-laki comel itu melimpahkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan ia mendekati tubuh sang ummi yang sudah tak bernyawa, sambil menggayuti umminya. Sang anak itu berkata dengan suara parau, “Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa….? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi…”

Budak kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu apa yang harus dibuat . Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya ia berteriak memanggil ayahnya, “Abi…Abi…Abi…” Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang ayah ketika teringat petang kemarin bapanya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.
“Hai…siapa kamu?!” Teriak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati anak tersebut. “Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi…” jawabnya memohon belas kasih. “Hah…siapa namamu anak kecil, cuba ulangi!” Bentak salah seorang dari mereka. “Saya Ahmad Izzah…” Dia kembali menjawab dengan agak kasar. Tiba-tiba “Plak! sebuah tamparan mendarat di pipi si kecil. “Hai budak…! Wajahmu menawan tapi namamu hodoh. Aku benci namamu. Sekarang kutukar namamu dengan nama yang lebih baik. Namamu sekarang ‘Adolf Roberto’… Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang buruk itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!” Ancam laki-laki itu.

Anak itu mengigil ketakutan, sembari tetap menitiskan air mata. Dia hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya budak tampan itu hidup bersama mereka.
Roberto sadar dari renungan panjangnya. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di pusat laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah ‘tanda hitam’ ia berteriak histeria, “Abi…Abi…Abi…” Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Pikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik ayahnya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat betul ayahnya mempunyai ‘tanda hitam’ pada bahagian pusat.

Pemuda bengis itu terus meraung dan memeluk erat tubuh tua nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas perlakuan baru saja ia timpakan terhadap ayahnya. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun lupa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, “Abi… aku masih ingat alif, ba, ta, ta…” Hanya sebatas kata itu yang masih terakam dalam benaknya.

Sang ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyiksanya habis-habisan kini sedang memeluknya. “Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuh Abi, tunjukkan aku pada jalan itu…” Terdengar suara Roberto meminta balas.

Sang ustaz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika setelah puluhan tahun, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di tempat itu. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.

Sang Abi dengan susah payah masih boleh berucap. “Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu,” Setelah selesai berpesan sang ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah “Asyahadu anla IllaahailAllah, wa asyahadu anna Muhammad Rasullullah…” Beliau pergi dengan menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.
Tak berapa lama setelah itu, Ahmad Izzah telah menjelma menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya, ‘Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru dengannya…”

Segala kebenaran milik Allah yang telah berfirman, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Ruum: 30).

Aku dan Putri kecilku…

Anak adalah suatu anugerah yang terindah yang diberi-kan Alloh sebagai titipan yang harus kita jaga, merawatnya, mendidiknya, dan memberikan yang terbaik untuknya adalah kewajiban yang diberikan oleh setiap orang tua.

Seandainya Aku mengetahuinya sejak dulu, mungkin kepergiannya ti-dak akan secepat ini. Tapi siapa tahu akan rahasia Alloh, dan telah menga-turnya, semoga aku teribrohkan dari cobaan ini…

Setiap Ibu pasti mendambakan seorang anak. Menurutku hal ini sudah menjadi sunnatulloh yang di ilhamkan bagi setiap wanita. Apa yang kuinginkan akhirnya terkabul juga, setelah aku menikah, Alloh meng-anugerahkan kami seorang anak perempuan yang lucu, mungil, dan imut…

Aku sangat gembira sekali karena kehadirannya memang menjadi pe-nantian kami siang dan malam. Kami
memberikan nama hima…

Seperti ibu yang lain aku merawat bayi kecilku… Setiap hari aku sibuk menyusuinya dan menggendongnya, tingkahnya yang lucu, setiap hari aku sibuk membayangkan tentang masa depan si mungil hima! Walaupun pendidikan agamaku kurang, tetapi menginginkan anakku kelak besar nanti menjadi anak yang baik dan sholehah…

Ya, memang sudah menjadi stan-darisasi keinginan setiap orang tua menginginkan anaknya lebih baik dari dirinya.

Hari pun berlalu mengiringi tum-buhnya si mungil… cobaan mulai datang menghujani rumah tangga kami! Saat krisis “moneter” dan musim PHK suamiku termasuk yang kena imbasnya.

Aku,…aku…, mulai mengeluh!!! Dan si kecil Hima pun perlahan aku abaikan dan menjadi pelampiasanku… sehingga tangisannya selalu terdengar, bahkan tidak sedikit diantara kerabat-ku yang merasa kasihan melihat Hima menangis.

Beberapa saudaraku memberani-kan diri untuk menegurku…! Agar tidak keras terhadap putriku. Walau-pun sudah aku coba, tetapi perasaan kesal terhadap putriku tetap saja mun-cul. Aku akui memang waktu itu aku kosong dari ilmu mendidik anak yang pernah dicontohkan Rasululloh.

Yang aku tahu…, Islam hanya masalah sholat, zakat, puasa, selebih-nya aku sama dengan yang lain, ter-masuk sekulerisme.
Normal Kembali!!

Setelah beberapa waktu seiring dengan terbiasanya hidup dalam kon-disi yang masih kritis, aku coba untuk menenangkan diri. Aku perlahan-lahan mendengarkan saran keluarga-keluargaku untuk bersikap tenang dan tabah menghadapi kenyataan hidup ini. Aku mulai belajar lebih banyak tentang ilmu-ilmu Islam, walaupun aku pikir itu masih sangat jauh bagiku untuk bisa mengatasi hidupku.

Suamiku mulai bekerja kembali walaupun tidak sebagus yang dulu. Beberapa saat aku merasa hidupku normal kembali hingga anak keduaku lahir.

Kesal itu Kembali!

Setelah Hima putri pertamaku mempunyai adik, rasa sayang yang seharusnya tercurahkan kepada kedua anakku… entah mengapa lebih aku curahkan pada anakku yang kedua, malas rasanya aku memperhatikan putri pertamaku.

Hima semakin besar. Umur tiga tahun ia sering menangis, bukan ka-rena jatuh, atau diejek oleh temannya. Tetapi karena aku sering memarahi-nya, bahkan aku terkadang memukul-nya.

Hari pun berlalu… seiring dengan kehidupanku yang acapkali membuat gundah siang dan malam, aku mulai haus dengan adanya ketenangan!

Badai rumah tanggaku hadir kem-bali saat Hima beranjak dewasa…, kini di usianya yang menginjak 10 tahun membuat amuk segala amarah, kulontarkan kepadanya…!!! Seringkali ia kuperintahkan memberi kebutuhan sehari-hari secara berkesinambungan. Entah mengapa aku berbuat demi-kian.

Namun demikian, ia tetaplah anak yang berbakti, mungkin itu karena ia kumasukkan ke sekolah plus Islam.
Walaupun masih kecil, tetapi Hima sudah seperti berpikir dewasa, sehari-hari ia selalu menutup tubuh kecilnya dengan pakaian dan kerudung yang sesuai Syar’i! Ia selalu menurut. Pikirku, ia akan kesal karena aku menyuruhnya secara terus menerus… tapi ia selalu mentaati apa yang kuperintahkan…

Sayangnya, seiring berjalannya waktu, aku tak juga menyadari betapa besar, dan sepantasnyalah aku ber-syukur telah dikaruniai seorang putri seperti Hima! Bahkan aku semakin tak peduli kepadanya!
Sungguh kala itu yang kupikirkan hanyalah perubahan dalam hidupku…

Waktu Pun Terhenti!

Waktu pun masih saja kulewati seperti biasanya… Lambat laun, ku-sadari ada kejanggalan pada putri pertamaku itu…! Namun kala itu aku tak merasa ada kekhawatiran, aku tak pernah terbesit untuk menanyakan keadaan putriku “Hima” !! Pancaran wajahnya tak seperti biasanya yang penuh senyuman…

Meskipun kusadari ada keganjalan dalam putriku itu, aku masih tetap memperlakukan dirinya seperti biasa! Memperlakukannya tanpa kasih sa-yang yang seharusnya kuberikan se-bagai seorang ibu, membuatnya men-derita, dan ooh… sampai masih ter-rekam detik-detik terakhir waktu itu…, detik terakhir dari hidupnya, detik terakhir senyuman yang dapat ku-rasakan.

Kala itu…, kumemanggil putri per-tamaku,”Hima” tuk bisa temani aku di dapur. Tapi, terlihat wajahnya ber-muka pucat. Ia yang kala itu baru se-lepas pulang sekolah meminta izin untuk makan terlebih dahulu… Ku-berikan izin dengan nada kesal. Selesai makan, kegundahan pun semakin menyelimuti. Putriku “Hima” muntah-muntah, tapi tak sedikit pun aku kha-watir kepadanya, kukira ia masuk angin biasa! Dan ternyata setelah se-lesai ia tetap membantuku di rumah.
Ia meminta izin untuk mengerjakan tugas sekolahnya, walaupun dalam keadaan yang mengkhawatirkan se-perti itu, aku masih saja membiarkan dia mengerjakannya. Hingga akhirnya, tiba-tiba Hima tertunduk di meja bela-jar… Kulihat…?? Pikirku ia tertidur?! Kubiarkan dan setelah kulihat kembali ia masih tertunduk kaku. Kubiarkan dan setelah beberapa lama kulihat kembali ia masih seperti itu… Kucoba memarahinya karena kukira ia ber-malas-malasan! Kucoba membentak-nya, ia tetap tertunduk kaku… Dan ternyata…! Saat kuperiksa…, sungguh aku tak percaya…, ia, Hima putriku sudah dingin dan tidak bernafas lagi!

Tiba-tiba kecemasan, kesedihan, merasuk dalam hatiku! Yang muncul saat itu hanyalah keguncangan yang tiada terkira…, Mengapa aku selalu melontarkan kemarahanku kepadanya, yang hanya seorang anak dari per-nikahanku dengan suami sekaligus amanah dari Alloh , yang seharus-nya aku jaga, kurawat, dengan penuh kasih sayang. Tapi…, aku malah me-nyia-nyiakannya!

Kini yang ada tinggallah kenangan, penyesalan pun hanya kuarahkan untuk bertaubat kepada Alloh yang telah menitipkan amanah-Nya, namun kusia-siakan. Terlebih, dia adalah anak yang hatinya seputih kapas, akhlak sebening embun… seharum mawar, seluas samudra… setinggi langit…

Semoga kisah ini menjadikan kita sebagai ibu sekaligus pemegang ama-nah dari Alloh , agar dapat benar-benar memperlakukan anak-anak ki-ta dengan sepenuh hati dan kasih sayang, jangan memperlakukannya semena-mena. Bisa jadi suatu saat nanti, bila saatnya pertanggungjawa-ban tiba, sang anak akan bertanya, “Ibu…, apa dosaku…!”

R … di kota B…

Dimanakah Ainul Mardhiyah?

“Seorang yang mati syahid diberi enam perkara pada saat tetesan darah pertama mengalir dari tubuhnya: semua dosanya diampuni (tertebus), diperlihatkan tempatnya di surga, dikawinkan dengan bidadari, diamankan dari kesusahan kedahsyatan yang besar (pada hari kiamat), diselamatkan dari siksa kubur dan dihiasi dengan pakaian keimanan.” (HR. Bukhari)

Dalam suatu kisah yang dipaparkan Al Yafi’i dari Syeikh Abdul Wahid bin Zahid, dikatakan: Suatu hari ketika kami sedang bersiap-siap hendak berangkat perang, aku meminta beberapa teman untuk membaca sebuah ayat. Salah seorang lelaki tampil sambil membaca ayat Surah At Taubah ayat 111, yang artinya sebagai berikut :
“Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka”
Selesai ayat itu dibaca, seorang anak muda yang berusia 15 tahun atau lebih bangkit dari tempat duduknya. Ia mendapat harta warisan cukup besar dari ayahnya yang telah meninggal. Ia berkata: “Wahai Abdul Wahid, benarkah Alloh membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan sorga untuk mereka?” “Ya, benar, anak muda” kata Abdul Wahid.

Anak muda itu melanjutkan: “Kalau begitu saksikanlah, bahwa diriku dan hartaku mulai sekarang aku jual dengan surga.”
Anak muda itu kemudian mengeluarkan semua hartanya untuk disedekahkan bagi perjuangan. Hanya kuda dan pedangnya saja yang tidak. Sampai tiba waktu pemberangkatan pasukan, ternyata pemuda itu datang lebih awal. Dialah orang yang pertama kali kulihat. Dalam perjalanan ke medan perang pemuda itu kuperhatikan siang berpuasa dan malamnya dia bangun untuk beribadah. Dia rajin mengurus unta-unta dan kuda tunggangan pasukan serta sering menjaga kami bila sedang tidur.

Sewaktu sampai di daerah Romawi dan kami sedang mengatur siasat pertempuran, tiba-tiba dia maju ke depan medan dan berteriak: “Hai, aku ingin segera bertemu dengan Ainul Mardhiyah.”

Kami menduga dia mulai ragu dan pikirannya kacau, kudekati dan kutanyakan siapakah Ainul Mardiyah itu. Ia menjawab: “Tadi sewaktu aku sedang kantuk, selintas aku bermimpi. Seseorang datang kepadaku seraya berkata: “Pergilah kepada Ainul Mardiyah.” Ia juga mengajakku memasuki taman yang di bawahnya terdapat sungai dengan air yang jernih dan dipinggirnya nampak para bidadari duduk berhias dengan mengenakan perhiasan-perhiasan yang indah.

Manakala melihat kedatanganku , mereka bergembira seraya berkata: “Inilah suami Ainul Mardhiyah…”

“Assalamu’alaikum” kataku bersalam kepada mereka. “Adakah di antara kalian yang bernama Ainul Mardhiyah?” Mereka menjawab salamku dan berkata: “Tidak, kami ini adalah pembantunya. Teruskanlah langkahmu” Beberapa kali aku sampai pada taman-taman yang lebih indah dengan bidadari yang lebih cantik, tapi jawaban mereka sama, mereka adalah pembantunya dan menyuruh aku meneruskan langkah.

Akhirnya aku sampai pada kemah yang terbuat dari mutiara berwarna putih. Di pintu kemah terdapat seorang bidadari yang sewaktu melihat kehadiranku dia nampak sangat gembira dan memanggil-manggil yang ada di dalam: “Hai Ainul Mardhiyah, ini suamimu datang…”

Ketika aku dipersilahkan masuk kulihat bidadari yang sangat cantik duduk di atas sofa emas yang ditaburi permata dan yaqut. Waktu aku mendekat dia berkata: “Bersabarlah, kamu belum diijinkan lebih dekat kepadaku, karena ruh kehidupan dunia masih ada dalam dirimu.” Anak muda itu melanjutkan kisah mimpinya: “Lalu aku terbangun, wahai Abdul Hamid. Aku tidak sabar lagi menanti terlalu lama”.

Belum lagi percakapan kami selesai, tiba-tiba sekelompok pasukan musuh terdiri sembilan orang menyerbu kami. Pemuda itu segera bangkit dan melabrak mereka. Selesai pertempuran aku mencoba meneliti, kulihat anak muda itu penuh luka ditubuhnya dan berlumuran darah. Ia nampak tersenyum gembira, senyum penuh kebahagiaan, hingga ruhnya berpisah dari badannya untuk meninggalkan dunia.

Di Atas Ranjang Kematian

“Tiada hari yang aku lewati kecuali aku menangis. Setiap detik yang aku lalui, selalu terfikir untuk bunuh diri. Bagiku hidup ini sudah tidak ada artinya lagi. Aku selalu mengharapkan kematian setiap saat. Ya Ilahi… Andai aku tidak pernah dilahirkan dan aku tidak pernah mengenal dunia ini”

Sebenarnya aku sangat malu menceritakan aibku ini kepada orang lain, namun karena nasehat seorang ustadz, akhirnya aku memberanikan diri mengungkapkan semuanya, dengan harapan pembaca sekalian dapat mengambil hikmah dari masa laluku yang kelam. Semoga peristiwa ini tidak menimpa pembaca sekalian. Semoga Allah swt menerima tobatku. Aamiin.

Kejadian mengenaskan ini bermula dari persahabatanku dengan seorang teman wanita, sebut saja namanya Nia. Setelah sekian lama kenal dan saling tukar pikiran, suatu hari ia mengajakku ke rumahnya yang asri. Nia termasuk maniak internet, hampir tiada hari dia lewati tanpa membuka internet, hal ini membuatku merasa ingin tahu dunia maya tersebut. Nia mengajari cara menggunakan internet, mulai dari membuka situs, kirim email sampai tentang serunya berchating ria, proses itu berjalan hampir dua bulan.

Selama masa tersebut aku sering “perang” dengan suami, tuntutanku agar ia setuju kami berlangganan internet di rumah. Dia sangat menentang usulan tersebut, aku berusaha meyakinkannya bahwa aku sering merasa kesepian dan jenuh yang sangat menyiksa, jika harus tiap hari di rumah tanpa ada yang dikerjakan, sementara orang tua dan sanak keluarga juga jauh. Setelah melalui rayuan dan rengekan yang cukup lama akhirnya suamiku setuju.

Ya Ilahi… andai aku boleh ber andai-andai, sungguh indah jika dia tetap tidak setuju, namun Allah berkehendak lain.

Kini, setiap hari aku berinternet ria dengan teman-teman. Suamiku tidak lagi mendengar keluhan atau omelanku. Setiap kali ia keluar rumah, aku langsung aktifkan internet. Sedemikian antusiasnya nyaris seperti orang gila. Duduk berjam-jam di depan komputer, kagak ade matinye. Aku mulai sering berharap dia jarang dirumah, walaupun aku masih tetap mencintainya. Mengunjungi keluarga dan orang tua sudah mulai aku tinggalkan. Aku benar-benar sudah menjadi maniak internet. Suamiku sering cemburu dengan kebiasaan baru ini. Memang aku akui, mengurus anak dan suami sudah semakin jarang aku lakukan. Padahal aku mempunyai suami yang tampan dan cerdas serta seorang putri yang cantik jelita baru menginjak satu tahun usianya.

Ringkasnya aku sudah mengabaikan semuanya. Dulu aku sering meneleponnya sampai puluhan kali, ketika ia sedang di luar rumah. Hanya sekedar untuk mendengar suaranya atau bermanja ria. Sekarang dia tidak lagi mendengar suaraku lewat HP-nya, kecuali jika ada kebutuhan rumah tangga yang sangat penting. Itu pun sangat jarang terjadi. Aku faham dia sangat cemburu dan mulai uring-uringan, namun ketagihan dan keasyikan berchating ria membuatku nggak ambil pusing dengan kondisinya.

Aku mulai sering menjalin hubu-ngan dengan nama-nama samaran, yang aku tidak tahu apakah pemilik nama-nama itu laki-laki atau perempuan. Aku berdialog dengan siapa saja yang menyapaku lewat chating. Dari seluruh teman chatingku, ada satu yang membuat aku menaruh perhatian besar kepadanya, sebut saja namanya Robert. Aku menyukai pembicaraan dan kelakarnya. Dia pandai menghibur. Hubungan kami semakin kuat seiring berjalannya waktu. Dia selalu memujiku dengan kata-kata yang manis, kata-kata cinta dan rindu. Boleh jadi kata-katanya tidak demikian sangat indah, tetapi syetan menjadikannya semakin dahsyat.

Pada suatu hari ia meminta untuk mendengar suaraku. Aku menolaknya. Dia terus merayu bahkan mengancam akan meninggalkanku. Aku berusaha keras menolak permintaannya, akan tetapi aku tidak mampu. Nggak tahu kenapa, kayaknya aku sangat takut jika harus dicuekinnya. Akhirnya aku menerima walaupun bersyarat. Kami menggunakan program untuk percakapan suara, meskipun program tersebut kurang baik, akan tetapi suaranya bagus dan enak sekali, ia berkata kepadaku, “suaramu lewat internet kurang jelas, tolong berikan aku nomer teleponmu”.

Aku berusaha menolaknya, aku terkejut dengan sikap aktifnya. Namun rasa takut ditinggal membuat aku terpaksa memberikan nomor telepon rumah. Hubungan kami semakin berkembang, kini dia penasaran minta bertemu muka, setelah bosan hanya mendengar suara. Dia terus merayu agar kami bisa bertemu pandang, jujur saja aku juga penasaran ingin melihat tampangnya, tapi rasa takut melanggar syariat Allah membuat aku hati-hati. Kian hari permintaannya kian memaksa. Akhirnya dengan terpaksa aku memenuhi permintaannya. Kami saling berjanji, ngedate bertemu di salah satu plaza.

Sejak pandangan pertama aku terkagum padanya, mungkin syetan menghiasi wajahnya dalam pandanganku sebagai laki-laki yang sempurna. Sebenarnya suamiku tidak kalah tampan, tetapi syetan menghiasi sesuatu yang haram, menjadi lebih indah dan tampan. Hanya sekejap berbasa-basi lalu kami pun berpisah. Setelah itu kami semakin memperkuat hubungan haram itu. Sebenarnya dia tahu kalau aku sudah bersuami dan ibu dari seorang putri yang cantik jelita. Waktu berjalan demikian cepat, komunikasi lewat telepon menjadi sangat sering kami lakukan, hingga datanglah masa, dimana aku mulai membenci suamiku. Dia menyarankan agar aku minta cerai dari suamiku, dia berjanji akan menikahiku.

Hingga akhirnya terjadilah malapetaka itu…

Pada suatu hari, suamiku dapat tugas kantor ke luar kota selama 5 hari. Ia menawarkan kepadaku agar aku pergi ke orang tua. Aku merasa inilah saat yang tepat. Aku menolak tawarannya. Dengan berat hati dia terpaksa setuju dan meninggalkanku pada hari Jum’at. Aku mulai merasa merdeka. Aku bisa melakukan apa saja yang ku mau.

Ya Ilahi.. inilah awal musibah itu. Andai hamba boleh memutar jarum waktu. Kan kuputar perjalanan hidup menjadi lebih indah. Tapi inilah taqdirku yang harus kulalui. Taqdir yang disebabkan sikap bodohku…

Pada hari Sabtu kami janjian untuk bertemu. Aku dan syetan sepakat untuk menemuinya di plaza, tempat awal kami bertemu. Setelah ngobrol -ngalor ngidul- dan makan siang di cafe terdekat, kami jalan-jalan mengelilingi kota dengan mobilnya. Ini merupakan kali pertama dalam hidupku, keluar rumah bersama laki-laki asing. Aku merasa gelisah, aku berkata padanya: “Aku tidak ingin waktu keluar terlalu lama, aku khawatir jika suamiku menelpon atau terjadi sesuatu”.

Ia menjawab, “Jika suamimu tahu, mungkin ia akan menceraikanmu lalu kamu bebas darinya.” Ucapannya penuh kebencian terhadap suamiku, kegelisahanku semakin bertambah. Ia mengalihkan perhatian dengan pembicaraan sampingan. Tanpa kusadari kami sudah berada di sebuah tempat yang tidak aku kenal, mirip villa. Aku mulai teriak, “Tempat apa ini? Kemana engkau akan membawaku?

Hanya beberapa detik saja, mobil tiba-tiba berhenti. Seorang laki-laki membuka pintu mobil dan mengeluar-kanku dengan paksa. Sementara laki-laki ketiga di dalam villa dan yang ke empat aku lihat sedang duduk-duduk. Bau aneh menyebar dari tempat tersebut. Semua kejadian ini datang bagaikan halilintar, aku berteriak, menangis dan meminta belas kasihan mereka.

Karena ketakutan aku berteriak sekuat tenaga. Sebuah tangan menampar wajahku dengan keras membuat mulutku terkunci. Kondisinya lebih menyeramkan ketika ada suara yang membentakku, membuat jiwaku bergoncang dan kehilangan kesadaran. Akhirnya terjadilah suatu musibah yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, bahkan terlintas di benak pun tidak. Musibah yang membuat kehormatanku sebagai wanita suci, hari itu terbang hilang menjadi hina, lebih hina dari seekor anjing. Sungguh penyesalan bertahun-tahun setelah kejadian ini, tidak pernah berhasil mengembalikan masa tersebut, masa dimana seharusnya aku lebih menjaga kehormatanku dari sejak awal pengaruh syetan mulai merasuk.

Setelah siuman dari pingsan, rasa takut yang begitu besar mulai menyelimuti. Tubuhku gemetar. Tak henti-hentinya aku menangis. Mereka mengikat kedua mataku lalu membawa ke mobil. Dengan kecepatan tinggi mereka membawa mobil ke daerah perumahanku lalu mereka campakkan tubuh yang hina ini dekat tong sampah samping rumah.

Aku masuk rumah dengan cepat, aku menangis dan menangis… hingga air mata kering. Aku mengurung diri di kamar, tidak melihat putriku, tidak makan barang sesuap pun. Aku membenci diriku, aku berusaha bunuh diri, aku tidak lagi mengenal anakku atau merasakan keberadaannya.

Suamiku pulang dari bepergian, kondisiku sangat buruk sekali. Dia membawaku ke rumah sakit dengan paksa. Dokter memberiku obat penenang. Aku minta suami agar membawaku ke rumah orangtua. Sesampainya di rumah orang tua aku banyak menangis. Orang tuaku terheran-heran, gerangan apa yang terjadi. Mereka mengira ada masalah antara aku dengan suamiku.

Suamiku sedih melihat keadaanku. Dia cuti kerja dua minggu agar lebih dekat denganku. Dia menolak untuk menceraikanku, ia sangat mencintaiku. Kami telah bersusah payah membina rumah tangga dan dia tidak ingin menghancurkannya.

Aku menyembunyikan semua rahasia di dadaku. Setiap hari berlalu kesedihanku kian bertambah pilu. Kehinaan macam apa yang telah menimpaku dari orang-orang yang rendah itu? Alangkah bodoh dan dungunya aku. Bagaimana mungkin aku melewati berbulan-bulan menyalurkan perasaan tulusku kepada orang-orang yang tidak berhak. Dan inilah aku yang menulis kisah ini di atas ranjang kesakitan dan kekurusan… bahkan menjadi ranjang kematian… (Hamba Allah)

 

File Gerimis. Edisi 1 Tahun ke-1 2005