Sisakan Senja-Mu untukku

“Maka berlomba-lombalah kalian (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kalian berada pasti Allah akan mengumpulkan kalian sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS.Al-Baqarah:148)

Menjalani hidup sebagai “bawahan” memang susah-susah gampang, alias banyak susahnya dari gampangnya. Kebanyakan akan selalu berbenturan dengan kebutuhan kita dalam menjalankan perintah Allah . Shalat tepat waktu misalnya, kadang terasa sangat sulit mengerjakannya. Tapi kalau kita lihat lagi, apa sebenarnya yang menjadi prioritas dalam hidup kita, pasti kita akan lebih memilih mentaati Allah daripada atasan. Tapi alangkah mudahnya bila atasan kita mengerti akan hak kita dalam beribadah.

Alhamdulillah, termasuk nikmat yang wajib kusyukuri karena atasanku “lumayan” mengerti dengan kewajibanku sebagai seorang muslim walau dia notabene non muslim. Dan karena memang tugas yang diberikan Allah itu tidak akan merugikan kita ataupun dia sebagai atasan. Toh itu juga adalah hak asasi kita sebagai manusia.

Kalaupun ada atasan yang menghalangi dari beribadah kepada Allah, kita tidak perlu ragu untuk tidak mentaatinya. Kalau kita pikir, kita mentaati atasan karena satu alasan, yaitu karena ia menggaji kita. Tapi bagaimanapun gaji itu tak akan pernah sebanding dengan udara yang kita hirup, jantung yang berdetak, darah yang mengalir dalam nadi, otak yang merespon saraf, lalu kita bisa dan bekerja, dan akhirnya pun kita mendapat gaji. Jadi sebenarnya gaji itupun dari Allah juga?! Sebenarnya kita ini tidak punya modal apa-apa. Tidak akan pernah cukup jika laut sekalipun menjadi tinta untuk menuliskan nikmat-nikmat Allah, tidak akan pernah cukup, bahkan jika ditambahkan sebanyak itu, lalu ditambah lagi sebanyak itu pula.

Setiap kali shalat Zhuhur dan Ashar, bisa dikatakan aku tepat waktu mengerjakannya, namun begitu jam pulang kerja sering bertepatan dengan masuknya waktu shalat Magrib. Apalagi akhir-akhir ini waktu shalat Magrib lebih maju jadi untuk shalat tepat waktu agak sulit, karena jarak yang ditempuh untuk ke masjid lumayan jauh.

Sebenarnya di sekitar situ ada mushola, tapi kondisinya sangat memprihatinkan, antara ikhwan dan akhwat hanya ada hijab seadanya. Juga tempat wudhu yang campur baur, dan juga sangat kotor. Aku tidak bisa shalat di situ, itu yang kukatakan pada diriku.
Setiap memasuki waktu Magrib, sedang aku baru siap-siap untuk pulang, perasaan ini tidak enak sekali. Seakan-akan aku bisa merasakan malaikat maut yang sudah memegang nyawa di atas ubun-ubunku yang tinggal menunggu satu perintah saja dari Allah.

Cabut. Bagaimana jika nyawa ini tercabut sedangkan aku belum shalat Magrib?

Setelah keluar kantor, aku mempercepat langkah menuju masjid, mengingat waktu Magrib yang singkat membuat langkahku semakin cepat, tak sadar akupun setengah berlari dan akhirnya berlari. Aku baru tersadar ketika orang berkata “Jangan lari mbak ntar jatuh lo..”, dan sapaan-sapaan usil lainnya yang kurasa tidak pantas mendapat respon dariku. Aku tak peduli, aku terus berlari, hatiku tak henti-hentinya berkata, “Allah, mohon sisakan sedikit cahaya merah di ujung barat-Mu.” Mata inipun sesekali mengawasi cahaya merah itu, senja itu. Kalau beruntung aku mendapat rakaat penuh, tapi yang sering aku ketinggalan beberapa rakaat, kadang malah tidak kebagian jama’ah. “Ya Allah, ampuni hamba-Mu yang dhaif ini.” Hanya itulah yang ias aku panjatkan, memohon ampunan. Tragisnya kondisi seperti ini selalu berulang-ulang, 6 kali seminggu, dan 26 kali sebulan. Semoga ini hanya menimpaku.

(Khusnul Khotimah)

Tinggalkan komentar